Rabu 23 Dec 2015 10:10 WIB

Tujuh Keprihatinan Perawat Indonesia

Red: M Akbar
Demo menuntut disahkannya UU Keperawatan
Foto: Antara
Demo menuntut disahkannya UU Keperawatan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syaifoel Hardy (CEO Indonesian Nursing Trainers)

Sebagai pengasuh lembaga pelatihan soft skills bernama Indonesian Nursing Trainers (INT), ingin rasanya saya menyampaikan surat kepada Bapak Presiden Joko Widodo. Lembaga ini secara aktif mengkomunikasikan uneg-uneg mahasiswa dan profesional keperawatan di dunia maya. Anggotanya terdata 24.000 orang. Kantor kami berada di Malang-Jawa Timur. 

Saya menyadari jam kerja Bapak Presiden sangat padat karena mengurusi kebutuhan 250 juta manusia Indonesia yang tersebar di 34 provinsi. Indonesia merupakan negara terbesar keempat penduduknya di dunia ini. Dibantu 34 menteri, kami bisa bayangkan volume kerja Bapak.

Bapak Presiden yang dirahmati Allah SWT....

Saya lulusan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), tamat tahun  1982. Cukup lama kerja di luar negeri. Saya bekerja dari 1993-2014. Pengalaman ini saya sampaikan bukanlah untuk gagah-gagahan. Pada 2014, saya balik ke Indonesia. Dulu, lulusan SPK yang selevel SMA, sangat mudah mencari kerja sebagai PNS

.

Bapak Presiden yang mulai, saat ini zaman sudah berubah. Tujuan saya menulis surat terbuka untuk Bapak Presiden ini hanya untuk menyuarakan aspirasi teman-teman perawat yang nimbrung di rubrik INT kami. Kemungkinan suara itu mewakili suara ratusan ribu perawat kita. Mereka menilai fenomena yang terjadi bahwa profesi kami perlu dibenahi.

Sebelum berkirim surat kepada Bapak Presiden, pada tanggal 28 Agustus 2015, kami pernah melayangkan surat 'senada' kepada Ibu Menteri Kesehatan RI. Nampaknya, beliau sibuk sekali. Entah harus menunggu berapa bulan surat kami bisa mendapat giliran terbaca.

Surat ini bertajuk 'Tujuh Keprihatinan Perawat Indonesia'. Isinya menyampaikan keprihatinan dengan kondisi kami. Tentunya, kami berupaya untuk introspeksi diri; apakah karena 'kesalahan' profesi kami ini sehingga nasib perawat Indonesia jauh berbeda dengan nasib perawat di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, bahkan Vietnam yang dulu sangat jauh situasi dan kondisinya dibanding Indonesia.

Nasib kami, juga jauh beda dengan saudara 'sekandung' profesi kedokteran di negeri sendiri.  Segudang persoalan dihadapi oleh profesi kami. Di antaranya kualitas pendidikan, SDM kampus, fasilitas kuliah, lahan praktik yang berebut, minimnya dosen, penyebaran dosen yang tidak merata.

Lainnya ada juga masalah kurikulum yang belum standar, uji kompetensi yang tersendat, STR yang sistemnya belum tertata, lapangan kerja, minimnya gaji, organisasi profesi, konsil keperawatan yang belum lahir,  hingga memaksimalkan potensi profesional muda. Semuanya kompleks.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement