REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember. Sejarah Hari Ibu merupakan momentum kebangkitan kaum perempuan.
Kaum perempuan mengkonsolidasikan diri, tahun 1928 dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia ke-I hingga diresmikan menjadi Hari ibu setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959 untuk merayakan Hari Ibu secara nasional.
Makna filosofis ibu begitu besar peranannya dalam kehidupan umat manusia, terutama dalam kaca mata Islam. "Ibu merupakan pendidik pertama pertama. Oleh sebab itu, memuliakan dan mencintai ibu merupakan spirit yang harus selalu dilestarikan dalam momentum Hari Ibu setiap tahunnya," kata Ketua Umum PP Fatayat Nahdlatul (NU) Anggia Ermarini lewat siaran persnya.
Sayangnya, kata dia, betapa ironis nasib kaum Ibu di Indonesia. Sampai saat ini, kualitas perempuan masih memprihatinkan. Pertama, masalah angka kematian ibu (AKI) dalam melahirkan yang jauh dari harapan. Laporan survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI mencapai 359 ibu per 100 ribu kelahiran bayi. Padahal target AKI, seperti dalam MDGs tahun 2015 adalah 102 ibu per 100 ribu kelahiran.
Kedua, dari data Komnas Perempuan pada 2014 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 293.220 kasus. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2013 sebanyak 279.688 kasus.
Sedangkan data kasus kekerasan terhadap perempuan yang didokumentasikan Komnas Perempuan sepanjang 1998 hingga 2013 menunjukkan bahwa hampir seperempat dari 93.960 kasus adalah kekerasan seksual. "Hal ini berarti, ada 35 perempuan setiap harinya menjadi korban kekerasan seksual. Artinya, setiap 2 jam, ada tiga perempuan yang menjadi korban," ujar Anggia.
Selanjutnya, masalah pernikahan dini, hampir 50 persen dari 2,5 juta pernikahan per tahun adalah kelompok usia di bawah 19 tahun. Angka tersebut berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian. Berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara.
"Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030. Ini menyedihkan," kata Anggia.
Karena itu, Fatayat NU sebagai ormas perempuan yang memiliki konsen terhadap upaya-upaya strategis memajukan kaum perempuan mendesak negara menjamin dan melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sekretaris Fatayat NU Margaret Aliyatul Maimunah mendorong berbagai kebijakan nasional (RUU) yang properempuan untuk menjadi prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2016.
Pihaknya juga mendukung revisi UU 1/1974 yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun. Yakni, menaikkan batas usia minimal perkawinan perempuan yang diharapkan melindungi anak perempuan dari pernikahan dini.