REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan untuk menutup sidang dugaan pelanggaran etika yang dilakukan Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov) dalam kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden serta permintaan saham di perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia, Rabu (16/12) kemarin.
Namun, MKD dianggap belum tuntas dalam mengusut dalam dugaan pelanggaran etika tersebut.Menurut pengamat politik asal Universitas Airlangga, Haryadi, MKD semestinya harus terus tetap bersidang dan mengambil keputusan, meskipun Setya Novanto memutuskan mundur dari jabatan sebagai Ketua DPR.
''Pengunduran diri Setnov sebagai Ketua DPR itu sebenarnya tidak ada urusannya. Mestinya MKD harus tetap bersidang dan tetap mengambil keputusan, serta menetapkan sanksi,'' ujar Haryadi kepada Republika, Kamis (17/12).
Lebih lanjut, Haryadi menjelaskan, sidang MKD tersebut sebenarnya berupaya memutuskan dugaan pelanggaran etika yang dilakukan anggota DPR, bukan pejabat atau unsur pimpinan dari Dewan. MKD pun semestinya melanjutkan sidang dan menegaskan sanksi yang bakal diterima Setnov. Tidak berhenti dan ditutup begitu saja.
''Itu yang harusnya dituntaskan terlebih dahulu oleh MKD,'' kata Dosen Ilmu Politik Unair tersebut. Haryadi pun menilai, dari cara MKD menutup dan mengakhiri sidang dugaan pelanggaran etika terhadap Setnov, ada kecenderungan praktek politisasi terhadap MKD.
"Kemarin dilihat yang menghendaki sanksi sedang itu 10 orang. Mestinya MKD harus berujung pada penetapan keputusan dari sanksi itu. Jadi tidak berhenti begitu saja. Ketika itu ditutup, mencerminkan 100 persen adanya politisasi bersama terhadap MKD,'' ujarnya.s