REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG--Kelangsungan hidup sedikitnya 34.119 jiwa warga di Jawa Tengah kian terancam. Ini sebagai dampak dari kebijakan pemerintah yang cenderung melanggar hak mereka atas pangan.
LBH Semarang melihat, pelanggaran hak atas pangan masyarakat ini berlangsung secara masif dan terstruktur. "Ini menunjukkan, 'lonceng' kematian telah dibunyikan," kata Direktur LBH Semarang, Musbakhul Munir, di Semarang, Kamis (17/12).
Ia mengatakan, istilah lonceng kematian telah dibunyikan ini bukan tanpa sebab. Bahkan ini bisa menjadi penanda bagi pemerintah atas kebijakannya yang melanggar hak atas pangan.
Selama tahun 2015, LBH Semarang melaporkan penerima manfaat bantuan hukum struktural berjumlah 34.119 orang. Angka tersebut termasuk orang yang berpotensi terlanggar hak atas pangannya.
Dugaan 'pelumpuhan' hak atas pangan terhadap 34.119 orang di Jawa Tengah akibat kebijakan ini harus diselidiki. Apalagi situasi perekonomian Indonesia semakin sulit.
"Saat ini, akses warga yang hak panganya terlumpuhkan tersebut sangat terbatas. Terutama akses terhadap lahan pertanian (baik pinggir hutan maupun tidak)," tegasnya.
Hal ini menambah penderitaan masyarakat marginal yang diduga telah terlanggar hak atas pangannya semakin besar.
Untuk itu, harapan besar ada pada pemerintah --baik pusat maupun daerah-- untuk mencabut kebijakan atau setidaknya merevisi kebijakan yang jelas jelas membenarkan praktek-praktek pelucutan hak atas pangan.
"Karena telah bertentangan dengan cita-cita kedaulatan pagan yang telah digariskan dalam UU Pangan maupun dalam program Nawacita Presiden Joko Widodo," jelasnya.
Terkait hal ini, LBH Semarang telah memberikan pendampingan dan pelayanan hukum. Sepanjang tahun 2015, total 34.609 orang menerima manfaat bantuan hukum dari LBH Semarang.
Untuk pelayanan konsultasi hukum telah diberikan kepada 295 orang penerima manfaat dan 195 orang menerima manfaat pendidikan hukum.
LBH Semarang juga merekomendasikan agar dalam jangka pendek negara melakukan penyelidikan atas dugaan pelucutan dugaan pelanggaran hak atas pangan dengan tujuan memberikan keadilan yang memuaskan kepada para korban dari tindakan ini.
Negara harus segera melakukan pemulihan kepada kemampuan produksi bahan pangan yang menjadi korban tindakan ini.
Termasuk merancang kebijakan dan program-program pertanian yang tujuannya memastikan proses pemulihan ini akan mampu mengembalikan kemampuan tersebut.
Sebagai regulator masih harus bertanggung jawab atas sekian produk kebijakan baik hukum maupun politiknya yang selama ini memicu ketimpangan akses, atau persoalan demokrasi.
"Dalam jangka pendek dan menengah, negara harus segera mencabut atau setidaknya merevisi segala kebijakan, yang jelas-jelas membenarkan praktik-praktik pelucutan hak atas pangan," tambahnya.// n bowo pribadi