Kamis 17 Dec 2015 08:49 WIB

'Kami tak Mau Silat Punah di Negeri Sendiri'

Rep: c26/ Red: Fitriyan Zamzami
Keindahan gerak silat pada Bandung Lautan Silat di Balai Kota Bandung, Ahad (13/12). (Republika/Edi Yusuf)
Keindahan gerak silat pada Bandung Lautan Silat di Balai Kota Bandung, Ahad (13/12). (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Azis Asy'arie bukan orang muda lagi. Rambutnya yang memutih tak hanya menjuntai di kepala, namun juga di dagu. Pada Sabtu (12/12) lalu, di halaman Balai Kota Bandung, Jawa Barat, pria berusia 65 tahun itu berhadapan dengan lawan yang jauh lebih muda.

Bagaimanapun, Azis nampak tenang. Ia bergeming ketika sang lawan mulai melancarkan serangan. Dalam sekejap, pukulan lawan ia tangkap dengan lekas. Yang kemudian terjadi, lawan tetiba terjerembab. Secara kasat mata, tak nampak ada dorongan maupun tendangan yang dilancarkan Azis sebagai pemicu kejatuhan lawannya tersebut.

"Rasa dan sentuhan," bisik Azis kepada Republika, pagi hari tersebut. Azis datang ke Balai Kota Bandung hari itu beserta ratusan pendekar dari berbagai aliran lainnya untuk mengikuti festival "Bandung Lautan Silat".

Yang ia peragakan dalam pertarungan, kata Azis, adalah salah satu jurus pamungkas aliran Cikalong yang ia praktikkan. Aliran itu dinamai dari tempat asalnya, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Cianjur. Azis adalah salah satu pendekar utama aliran tersebut.

Azis menjelaskan, satu hal yang membedakan aliran Cikalong dengan perguruan silat dari Tanah Pasundan lainnya adalah tak bertumpu pada kekuatan kecepatan gerakan, melainkan rasa dan sentuhan. Menurut Aziz, saat tangan pendekar Cikalong bersentuhan dengan lawannya, maka di situlah letak kekuatannya. 

Pendekar Cikalong akan memberikan tekanan kuat lewat rasa sentuhan yang bisa membuat lawannya terhempas jatuh. "Cikalong kekuatan tidak mutlak. Hanya mengandalkan rasa atau feeling. Ketika bilang rasa dilihat dibicarakan nggak bisa. Saat nempel baru terasa. Kekuatannya dari rasa sentuhan," ungkapnya penuh tamsil seperti laiknya guru-guru sepuh bela diri.

Aliran Cikalong mulai berkembang pada 1850-an. Hingga kini sudah banyak yang belajar langsung ke perguruan yang diberi nama Maenpo Cikalong. Yang bertandang bukan hanya murid dari Indonesia tapi juga dari luar negeri.

Cikalong hanya satu saja dari aneka aliran pencak silat di Tanah Air. Masing-masing punya ciri khas dan jurus pamungkas masing-masing. Sepanjang akhir pekan lalu, sebagian di antaranya saling unjuk kebolehan sebagai ikhtiar untuk melestarikan warisan para pendekar-pendekar Nusantara tersebut.

Salah satunya adalah aliran pencak silat dari Sunda lain yang lebih terkenal adalah Cimande. Akhir pekan lalu, para pendekar aliran tersebut juga menampilkan keterampilan menyerang dan menangkis lawan. Sepersekian detik mengenai dada. Detik berikutnya menekan perut. Detik berikutnya memukul bagian bahu. Menangkis pukulan dan tendangan lawan.

Dadang Gunawan kini menjadi pewaris tradisi silat Cimande dari ayahnya yang merupakan pendiri perguruan. Bersama istrinya ia rutin mengajar di perguruan aliran Cimande.

Dadang mengatakan Cimande merupakan aliran yang sering memfokuskan gerakan keras dan pendek untuk mematikan lawan. Gerakan pendek ini lebih banyak menitikberatkan keahlian tangan. Letak kekuatan aliran Cimande ada pada ketangkasan tangan menguasai jurus-jurus yang sudah diajarkan.

Jawa Barat memiliki banyak perguruan dengan beragam aliran yang berbeda-beda. Namun pada intinya, silat yang dalam bahasa Sunda acap disebut Maenpo atau Penca lebih dominan menunjukkan gerakan yang halus dan lembut.

Ketua Masyarakat Pencak Silat Indonesia (Maspi) Asep Gurmawan merupakan seorang pendekar dari Jawa Barat. Menurutnya, silat Sunda juga identik mengedepankan kekuatan kaki. Sementara keterampilan tangan merupakan pelengkap. "Jawa Barat berangkat dari daerah dengan pegunungan makanya lebih kuat di kaki. Terampil di tangan," kata Asep.

Ia menambahkan Penca Sunda sangat dipengaruhi oleh etika. Sebagai warisan leluhur yang diturunkan oleh para menak (bangsawan) Sunda terutama Cianjur. Alhasil gerakan halus yang luwes dan rapat menjadi ciri silat Sunda.

Hal ini berbeda dengan silat yang umumnya berkembang di daerah pesisir laut Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka cenderung memiliki gerakan kaki dan tangan yang lebar dan menunjukkan kekuatan karakter yang tegas.

Tak jauh dari tanah Pasundan, Banten juga merupakan salah satu daerah penghasil pendekar. Ilmu bela diri dari daerah itu disebut banyak mengandung hawa supranatural. Dalam atraksi pencak silat tradisinya, Banten banyak menampilkan aksi debus yang identik dengan kekebalan.

Pisau tajam ditusukkan ke lidah. Paku besi digantungkan di leher. Samurai panjang disabetkan ke badan tanpa pakaian. Hingga botol beling dipecahkan di kepala.

Tapi, Menurut Asep, atraksi yang membuat penonton berdecak ngeri tersebut merupakan warisan budaya leluhur dari masyarakat Banten sejak dulu. Bukan bermaksud memperlihatkan kesombongan.

Lain halnya dengan inti gerakan silat dari Sumatra. Sumatra Barat menyebut pencak silat dengan nama silek. Silek asli Minangkabau berkembang sejak abad keenam. Bukan cuma menonjolkan jurus-jurus keras dan tangkas. Tapi arah pukulan pendekar menyasar ke organ-organ sensitif untuk melumpuhkan lawan seperti jantung, ulu hati, nadi, dan syaraf-syaraf pusat.

Guru dari padepokan Silek Harimau Minangkabau, Edwel Yusri Datuk Rajo Gampo Alam mengatakan perbedaan selanjutnya ada pada kelengkapan senjata yang digunakan saat beraksi. Adalah kerambit, pisau genggam kecil berbentuk melengkung yang biasanya dibawa pendekar silat Minangkabau.

Asep Gurmawan mengatakan, pencak silat bukan sekadar seni bela diri. Ia adalah juga perwujudan dari sekian panjang perjalanan budaya Nusantara. Sensasi spiritual mengalir saat jurus-jurus khas masing-masing perguruan diperagakan. Tempo seakan menjadi tanda keramat dari setiap gerakan.

Ia berkisah, dahulu Indonesia bukan entitas tunggal. Ia merupakan wilayah yang berbagai kerajaan dan kesultanan. Setiap kerajaan memiliki gerakan-gerakan yang digunakan sebagai simbol pertahanan diri.

Gerakan tersebut terus turun temurun diturunkan ke anak cucu pewaris kerajaan. Kemudian berkembang di kehidupan masyarakat setempat. 

Meskipun begitu, belakangan, bukan silat semata bela diri yang berkembang di Tanah Air. Rerupa bela diri lainya, terutama dari Asia Timur merangsek dan merebut hati anak-anak negeri. Asep melihat hal tersebut dengan sedih. "Kami ingin pencak silat di Indonesia khususnya yang bergelut pada budaya ingin melestarikan. Kami tidak mau pencak silat punah di negeri sendiri," ujarnya. 

Tulisan ini terbit pada halaman 1 koran Republika edisi Kamis, 17 Desember 2015.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement