REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Bivitri Susanti mengatakan kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pencatutan namanya terkait pembagian saham PT Freeport memberikan sinyal agar persoalan itu direspons oleh para penegak hukum.
"Presiden kan sudah "marah" dalam pernyataannya di media. Kemarahan presiden, menurut saya, punya implikasi konstitusional yang harus ditanggapi oleh aparat penegak hukum yang ada di bawah presiden, yaitu Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK," katanya, Senin.
Menurut Bivitri, kasus pencatutan nama Presiden Jokowi itu harus segera diselesaikan karena berpengaruh bagi nama baik atau wibawa Presiden Joko Widodo dalam memimpin pemerintahan Indonesia.
Ia mengatakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak seharusnya mengadakan sidang tertutup terhadap kasus pencatutan nama presiden yang melibatkan Ketua DPR RI Setya Novanto itu.
Menurut dia, sidang seharusnya digelar terbuka hingga akhir agar proses dan informasi di dalam sidang tersampaikan secara jelas kepada publik. "Sidang yang tertutup itu salah satu indikator bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan mulai masuk angin, sehingga kasus ini perlu dibawa ke ranah hukum," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah luar biasa setelah membaca transkrip rekaman yang mencatut namanya terkait pembagian saham PT Freeport.
"Presiden sebenarnya ingin menunggu proses yang berjalan di MKD tetapi ketika sidang yang menghadirkan Setya Novanto justru digelar tertutup beliau marah," kata Teten Masduki di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin malam (7/12).