Ahad 13 Dec 2015 13:34 WIB

Lika-Liku Janda Terlena

Rep: c12/ Red: Friska Yolanda
Perceraian/ilustrasi
Foto:

Dari tahun ke tahun, kasus perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama (PA) Cimahi kian meningkat. Pada 2013, PA yang meliputi wilayah Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, ini menerima 5.000 pengajuan cerai. Pada 2014, jumlahnya meningkat menjadi 6.000. 

“Tahun ini, sampai Agustus kemarin sudah lebih dari 5.000 kasus,” kata Wakil Panitera Pengadilan Agama Cimahi, Dedeng. Jumlah ini ia perkirakan masih akan terus meningkat hingga 7.000 kasus.

Dari ribuan kasus yang masuk, 70 persen di antaranya merupakan gugatan cerai dari pihak istri. Ada beberapa hal yang menyebabkan tingginya perceraian di tiga wilayah ini. Kasus paling umum adalah karena ekonomi dan pihak ketiga.

“Karena ekonomi, tidak ada tanggung jawab terhadap istri, enggak punya kerjaan karena di-PHK,” katanya.

Pihak ketiga biasanya merusak hubungan rumah tangga melalui teknologi. Telepon pintar tidak hanya berdampak baik pada perkembangan masyarakat, tetapi juga memudahkan suami atau istri untuk berselingkuh, terutama melalui penggunaan aplikasi berbalas pesan seperti Blackberry Messenger.

Konselor Keluarga Cahyadi Takariawan mengatakan, berkembangnya teknologi informasi saat ini berpengaruh cukup signifikan terhadap kehidupan berumah tangga. Jika dulu kebanyakan perceraian disebabkan oleh faktor ekonomi, kini perceraian disebabkan oleh dampak dari perkembangan teknologi.

Hal lain yang juga berpengaruh adalah gaya hidup suami/istri. Meningkatnya standar gaya hidup ini menentukan sikap dalam menjalani kehidupan.

Bisa saja, kata Cahyadi, sebenarnya kehidupan suatu keluarga itu amat berkecukupan. Tapi, karena gaya hidup suami dan istri yang berbeda, malah menyulitkan pihak suami sebagai pemberi nafkah dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. “Itu jadi fenomena masyarakat modern,” katanya.

Apalagi, dalam konteks kehidupan di Kabupaten Bandung, KBB, dan Kota Cimahi, tidak terlalu bersifat kekotaan. Namun, masyarakatnya telah terkontaminasi oleh gaya hidup perkotaan.

Sisi positifnya, mereka melek teknologi. Namun negatifnya, masyarakat di wilayah itu menjadi latah mengikuti gaya masyarakat kota. Padahal, mereka tidak betul-betul mampu mengikutinya.

Saat ini, banyak pola hidup yang mengarah pada gaya hidup hedonis. Orang ingin mendapatkan sesuatu dengan mudah dan cepat. Padahal, kondisi finansial mereka tidak mampu untuk memenuhi keinginan itu. Kemudian, timbul lah rasa penyesalan dan kekecewaan karena ketidakmampuan itu.

Keadaan ini banyak dijumpai pada pernikahan yang suami-istrinya masih berusia muda. “Ini karena ketidakmampuan mereka mengendalikan diri,” katanya.

Terlebih, dirasakan atau tidak, kini ada kultur persaingan yang terbangun dalam suatu permukiman, biasanya terjadi di kompleks perumahan. Misalnya, ketika istri melihat ada mobil baru milik tetangganya, muncul rasa ingin memilikinya juga. “Tetangga beli motor baru atau mobil baru, ada perasaan kok di sini enggak punya,” jelas dia.

Kondisi itu juga dapat memicu pasangan tidak puas dengan apa yang dimilikinya saat ini. Ia pun menuntut kepada pasangannya untuk melakukan hal yang sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement