Ahad 13 Dec 2015 13:34 WIB

Lika-Liku Janda Terlena

Rep: c12/ Red: Friska Yolanda
Perceraian/ilustrasi
Foto: familylawyerblog.org
Perceraian/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,

Kau putuskan tali perkawinan kita

Kini diriku menjadi janda

Kini dirimu telah berdua lagi

Kini diriku jadi merana

Penggalan lagu berjudul ‘Takdir’ yang dipopulerkan Nais Larasati ini barang kali patut disematkan pada sekelumit persoalan yang dialami para janda. Tali pernikahan yang terus dijaga, dipertahankan oleh istri, tapi pada akhirnya terputus. Predikat istri pun menjadi kenangan, dan kini menjadi janda. 

Seorang perempuan dengan setelan blazer terlihat berjalan menyambangi satu per satu rumah warga di Ngamprah, dekat kantor pemerintahan Kabupaten Bandung Barat. Ia menjinjing sebuah kantong berisi lembaran-lembaran kertas. Lembaran itu berisi katalog produk-produk elektronik. 

Dian namanya. Sudah cukup lama ia melakoni profesi penjual barang-barang elektronik. Saat itu, terik matahari menyengat. Di bawah terik itu, kulit wajahnya masih saja kelihatan segar. Wajahnya penuh dengan dempulan bedak rias. Putih. Bulu alisnya hitam dan panjang. Ujungnya lancip. 

Wajah Dian tampak sudah tidak kencang lagi. Ada sedikit keriput di sisi kanan-kiri bibirnya. Saat tersenyum lebar atau tertawa, keriputnya terlihat jelas.

Menjadi sales alat elektronik dilakukan Dian untuk menghidupi anak-anaknya. Anaknya satu laki-laki dan dua perempuan. Anak pertama, laki-laki, putus sekolah saat menginjak bangku kelas V SD. “Kalau dilanjutkan, sekarang dia kelas IX SMP,” ujar dia saat dijumpai Republika.co.id di rumahnya, belum lama ini. 

Dian sudah sering mengajak anaknya bersekolah lagi. Namun, bocah usia 12 tahun itu menolak. Dian pun hanya bisa pasrah menghadapinya. Apa yang terjadi pada anak pertamanya tidak lepas dari permasalahan keluarga yang dihadapinya.

Dian dan suaminya berpisah pada 2011. Sejak saat itu pula, nafkah keluarga tak lagi diberikan sang suami. Dan dari tiga anaknya, anak pertamalah yang paling merasakan perilaku tak pantas dari seorang ayah.

“Suka nanya Bapak, benci dia,” kata Dian.

Pada usia 15 tahun, Dian menikah untuk pertama kalinya dengan laki-laki yang sebaya dengannya. Namun, pernikahan dini ini tak berlangsung lama, hanya enam bulan. Suaminya kala itu dinilai Dian terlalu manja. Apa-apa jika ada masalah, ia langsung mengadu ke orang tuanya. Setelah enam bulan, ia cerai.

“Suami dulu mah anak manja. Kalau ada apa-apa bilang ke mamah, tapi enggak nyakitin,” ujar dia.

Setelah cerai, ia bekerja menjadi pelayan di sebuah toko kue. Dua tahun ia jalani pekerjaan ini. Setelah itu, ia mengundurkan diri dari pekerjaan itu karena dirasa bayarannya tidaklah seberapa. Dari situ, ia mendapat pekerjaan baru di Padalarang, di sebuah pabrik pembuatan benang. Selama lima tahun ia bekerja di pabrik itu.

Selang sekitar satu satu tahun setengah, perempuan asli Desa Kertajaya, Kecamatan Ngamprah, ini menemukan tambatan hati baru. Ia pun menikah untuk kedua kalinya pada 2002, ketika usianya 22 tahun. Di awal pernikahannya, semua berjalan dengan baik-baik saja. Namun, seiring naiknya usia pernikahan, terpaan badai pun mulai menghujam hubungan mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement