Selasa 08 Dec 2015 18:47 WIB

Pengelolaan Taman Nasional Dianggap Belum Optimal

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Winda Destiana Putri
Kekayaan flora di dalam Pusat Pendidikan Konservasi Alam Badogol (PPKAB) Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat, Senin (23/11).
Foto: Republika/ Wihdan
Kekayaan flora di dalam Pusat Pendidikan Konservasi Alam Badogol (PPKAB) Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat, Senin (23/11).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Potensi wisata Taman Nasional, masih belum optimal dikelola. Karena, hingga saat ini masih terdapat aturan yang tumpang tindih yang menjadi kendala dalam pengelolaannya.

Selain itu, masih ada ego sektoral dari sejumlah pihak yang terkait.

Menurut Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan (puslitbang) Kementrian Lingkungan Hidup, Endang Karlina, kekayaan alam Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Namun, pengelolaannya masih belum optimal termasuk dalam sumber daya manusianya.

"Seharusnya ada sinergi dengan melibatkan masyarakat lokal di dalam pengelolaannya," ujar Endang seusai Seminar Nasional Basic Research 2015 dengan tema: National Park Into Deep, Managing, Marketing, and Developing di Convention Hall Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (STPB) Jalan Setiabudi, Selasa (8/12).

Menurut Endang, taman nasional bukan sekadar kawasan konservasi alam dan keanekaragaman hayati. Seharusnyan dengan pengelolaan yang baik, Taman Nasional bisa dikembangkan menjadi kawasan wisata yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan edukasi dan wisata minat khusus.

Seharusnya, kata dia, dengan konsep ekowisata, daerah-daerah di sekitar Taman Nasional bisa menyejahterakan masyarakat sekitarnya.

"Pengembangan ekowisata seharusnya tanpa merusak kawasan inti Taman Nasional itu sendiri," katanya.

Endang mengatakan, pemerintah harus merancang kebijakan yang implementasinya kuat. Selain itu, harus dibangun juga kesadaran dalam pemanfaatan alam. Saat ini, di tataran pemerintahan, terdapat koordinasi yang optimal. Yang tidak kalah penting, membangun motivasi masyarakat turut berpartisipasi dalam ekowisata.

"Seharusnya ecowisata juga menunjukan adanya pelestarian ekologi, budaya, dan peningkatan ekonomi yang berkelanjutan," kata Endang.

Sementara menurut Perwakilan WWF Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat, Angga Prathama Putra, saat ini sudah ada perkembangan signifikan pengembangan ecowisata di wilayah konservasi alam. Padahal, dengan ekowisata minat khusus ini bisa mendorong masyarakat lokal untuk ikut melestarikan kawasan taman nasional.

Angga melihat, kesadaran masyarakat lokal sudah tumbuh. Hal itu tampak dari dibangunnya penginapan-penginapan di sekitar destinasi ecowisata. Terkait hasil riset di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Sulawesi Selatan), Taman Nasional Danau Sentarum (Kalimantan Barat) dan Taman Nasional Betung Kerihun (Kalimantan Barat) disimpulkan kondisi transportasi dan infrastruktur menjadi kendala. Angga mencontohkan untuk mencapai Danau Sentarum membutuhkan waktu perjalanan hingga 23 jam dan biaya hingga Rp 11 juta.

Sementara menurut Peneliti Puslitbang Hutan Kementrian Lingkungan Hidup, Reny Sawitri, saat ini wisatawan asing masih mendominasi destinasi ecowisata. Mereka mendapatkan promosinya lewat internet. Bahkan, terdapat agen-agen sendiri yang membuatkan paket wisata. Reny menyebutkan ritual upacara adat juga mampu menarik minat wisatawan. Seharusnya, upacara adat dikemas dalam paket wisata.

Namun, kata dia, perkembangan ecowisata akan berjalan selaras bila melibatkan masyarakat. Salah satu contoh pengelolaan ecowisata yang ideal sudah dilakukan di Pulau Komodo dan Bunaken.

"Mereka membuat program yang keuntungannya dirasakan kembali oleh masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement