Selasa 08 Dec 2015 16:10 WIB

E-Budgeting Bukan Alasan untuk Menolak Perubahahan Anggaran

Suasana halaman Balai Kota dan Gedung DPRD DKI Jakarta, Jakarta, Jumat (3/10).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Suasana halaman Balai Kota dan Gedung DPRD DKI Jakarta, Jakarta, Jumat (3/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mengapresiasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang telah berinovasi dengan menerapkan sistem e-budgeting. Namun perlu diketahui itu hanyalah alat atau sistem.

Direktur Kopel Indonesia, Syamsuddin Alimsyah mempermasalahkan hal itu terkait eksekutif menolak usulan dan masukan DPRD untuk merubah atau menambah anggaran. Hal ini terjadi pada saat pembahasan KUA/PPAS APBD DKI Jakarta 2016 di DPRD. 

Menurutnya, saat memantau pembahasan KUA/PPAS APBD DKI, kalangan anggota dewan mengajukan usulan anggaran pada Dinas Sosial yang mengalokasikan anggaran sebesar Rp 250 miliar untuk pembangunan rumah susun. DPRD mengusulkan agar dinaikkan menjadi Rp 500 miliar. Tapi Sekda selaku Koordinator tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) Eksekutif menolak usulan tersebut dengan alasan harus lewat e-budgeting.

Kopel menilai eksekutif menggunakan berbagai macam alasan agar plafon anggaran tidak berubah. Padahal pembahasan ini sudah berada dalam domain DPRD di mana perubahan sangat mungkin terjadi. 

Syamsuddin mengutip UU 23 tahun 2014, mengamanahkan DPRD menjakankan fungsi anggaran yakni dengan melakukan pembahasan di mulai dari KUA PPAS dalam rangka memastikan APBD berkualitas dan tepat sasaran. Dia mengatakan, e-budgeting yang tidak dapat diubah adalah alasan yang tidak rasional untuk menolak perubahan yang dilakukan oleh DPRD. 

"E-budgeting itu hanya sebuah alat atau sistem yang diharapkan untuk membantu mengontrol pemanfaatan atau penggunaan alokasi anggaran. E-budgeting tidak serta merta mengebiri hak DPRD dalam membahas KUA PPAS," katanya, Selasa (8/12).

Menurutnya, KUA PPAS itu domainnya kebijakan. KUA juga bisa menjadi alat untuk memonitoring apakah Gubernur konsisten dengan visinya. Atau jangan-jangan mengelola daerah sesuai seleranya sendiri.

Dia menambahkan penolakan Sekda dengan alasan e-budgeting adalah tindakan keliru dan bisa dipandang mengebiri hak konstitusional dan melecehkan fungsi DPRD. Kecuali bila Sekda menolak penambahan alokasi anggaran tersebut karena dipandang tidak rasional atau karena dianggap tidak sejalan dengan kebijakan yang akan diterapkan Gubernur. "Tapi bukan karena e-budgeting yang dijadikan alasan," tegasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement