REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembubaran paksa aksi Aliansi Mahasiswa Papua se-Jawa dan Bali secara represif merupakan bentuk pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat di muka umum. Penangkapan sewenang-wenang yang mengakhiri pembubaran aksi ini juga pelanggaran serius terhadap proses hukum due process of law.
"Polisi sangat diskriminatif karena memperlakukan berbeda aksi mahasiswa Papua dengan aksi-aksi massa yang lainnya," kata Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, Selasa (1/12).
Polisi beralasan tindakan represif yang dilakukan berkaitan dengan tanggal 1 Desember sebagai hari identitas diri warga Papua dan adanya bendera Bintang Kejora yang menunjukkan simbol-simbol Operasi Papua Merdeka (OPM). Namun hal ini dinilai tidak mendasar karena aksi dan segala ekspresinya merupakan hak yang tidak terpisahkan.
Setara Institute mengecam keras pembubaran aksi dan kekerasan yang menimpa mahasiswa asal Papua dan peserta aksi lainnya. "Polri harus melepaskan 306 peserta aksi tanpa syarat," kata dia.
Aparat keamanan menunjukkan sikap primitif dalam menangani aksi-aksi warga yang meminta pemenuhan hak asasi manusia (HAM) warga Papua. Ismail menyebut, di Yogyakarta juga Polri dan TNI melakukan pengintaian terhadap asrama mahasiswa Papua.
Pengintaian ini dinilai sebagai aksi penyebaran kebencian terhadap warga Papua dengan alasan penolakan terhadap separatisme. Menurut dia, generalisasi dan labeling terhadap mahasiswa Papua dengan isu separatisme adalah cara orde baru yang masih terus direproduksi. Tujuannya tidak lain untuk menundukkan aspirasi warga negara tentang Papua dan untuk menghindar dari kewajiban pemenuhan HAM di Papua.