REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) menyarankan agar kewenangan DPR terkait uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan (capim) KPK dibatasi.
Direktur Eksekutif LIMA, Ray Rangkuti menilai DPR tidak mampu menjadikan wajah KPK lebih baik dengan kewenangan yang diembannya. Hal itu terbukti dari keputusan DPR yang menunda-nunda uji kelayakan capim KPK dengan alasan yang tidak substantif.
"Ini (uji kelayakan dan kepatutan capim KPK) jadi bahan mainan terus di DPR," ujarnya kepada Republika.co.id, Sabtu (28/11).
Menurutnya, perlu evaluasi lagi apakah proses seleksi pemilihan capim KPK, Komisi Yudisial, dan Ombudsman perlu melibatkan DPR atau cukup di tangan Presiden dengan syarat membentuk panitia seleksi (Pansel) saja.
Ray melanjutkan di waktu mendatang,. DPR cukup campur tangan untuk urusan pemilihan umum (Pemilu) saja dalam hal pemilihan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
"Di luar itu DPR tidak perlu dilibatkan karena hanya akan jadi bahan ribut dan justru malah memperpanjang urusan bernegara dengan hal yang sebenarnya tidak substantif," katanya.
Nama-nama capim KPK yang ada sekarang ini merupakan hasil dari Presiden dan pansel. Seandainya DPR mengembalikan nama tersebut dan Presiden tidak mau mengubahnya maka diyakini akan terjadi dead lock. Untuk urusan yang sangat sepele, DPR hendaknya tidak meributkannya.
Kepimpinan KPK saat masih ditempati oleh Abraham Samad dan Bambang Widjojanto merupakan formasi hampir ideal. Samad dinilai sebagai pribadi yang tidak kenal takut dan memiliki kekesalan terhadap praktik korupsi yang begitu tinggi di Indonesia, sedangkan Bambang cukup mampu membaca lapangan, memiliki dasar hukum kuat, dan pikiran strategis.
"Ini perpaduan serasi," ucapnya.
Sebaliknya, KPK sebaiknya tidak dipimpin oleh figur yang merasa cukup di bidang pencegahan saja tanpa adanya penegakan hukum mengingat praktik korupsi di Tanah Air tergolong tinggi.