REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Solidaritas untuk Pergerakan Aktivis Indonesia (Suropati) mendesak pemerintah untuk tidak memperbaharui kontrak PT Freeport Indonesia. Suropati menilai, perusahaan asal Amerika Serikat itu hanya 'benalu' yang merusak bangsa ini.
"Kami mendesak negara, mendesak pemerintah pusat untuk tidak memperpanjangan kontrak Freeport. Kami juga mendesak elit-elit negara untuk menasionalisasi Freeport," tegas Presidium Suropati, Aditya Iskandar.
Aditya melanjutkan, pihaknya akan terus melawan jika pemerintah bersikukuh untuk memperbaharui kontrak Freeport. Menurut mereka, keberadaan Freeport hanya merugikan bangsa dan negara.
"Kami akan terus melakukan perlawanan. Menyuarakan bahwa kita harus mengelola tambang kita sendiri. Tidak ada lagi pentingnya Freeport di Indonesia. Merusak lingkungan, membuat konflik masyarakat di Papua," jelasnya.
Ia pun menilai jika ada elit-elit politik yang tetap berusaha memperbaharui kontrak karya PT Freeport, maka hal itu sama saja dengan menghianati bangsa sendiri.
"Jangan coba-coba memperpanjang kontrak karya. Kalau sampai diperpanjang berarti pemerintah telah mengkhianati bangsa sendiri," tegasnya.
Seperti diketahui, masalah perpanjangan kontrak PT Freeport tengah menjadi sorotan. Hal itu setelah Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan ada politikus kuat yang meminta bagian saham PT Freeport. Oknum itu kemudian diduga adalah Ketua DPR Setya Novanto.
Sementara itu, diketahui Menteri ESDM juga mengirimkan surat tertanggal 7 Okbober ke PT Freeport yang terkesan menberi 'lampu hijau' untuk perpanjangan kontrak.
Padahal, Freeport sendiri sampai hari ini belum menuntaskan beberapa kewajibannya, seperti halnya membangun pengolahan hasil tambang atau dikenal dengan smelter. Perusahaan asal Amerika Serikat itu juga belum mendivestasikan sahamnya sesuai dengan kesepakatan.
Khusus untuk pembangunan smelter itu tertuang dalam Pasal 169 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yakni pemegang kontrak karya wajib melakukan pemurnian. Smelter itulah yang nantinya akan melakukan permunian terhadap hasil bumi yang diambil Freeport dari 'perut' pulau Papua.