Rabu 25 Nov 2015 23:29 WIB

Jadi Bahasa Global, Apa Syaratnya?

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko
Mahasiswa ANU akan berpartisipasi membantu penysunan kamus bahasa Aborijin ini.
Foto: abc
Mahasiswa ANU akan berpartisipasi membantu penysunan kamus bahasa Aborijin ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Bahasa Australian Nasional University, I Wayan Arka menilai ada hubungan rapat antara bahasa dengan dominasi ekonomi, politik, teknologi, dan budaya. Kekuatan bahasa untuk menjadi bahasa global tidak hanya soal jumlah penutur, tapi dengan siapa dan untuk apa bahasa tersebut diujarkan.

Dari sepuluh bahasa berpenutur terbanyak  di dunia versi Global Language Monitor, bahasa Hindustani menempati posisi 3, sedangkan Bengali di posisi 7. Namun, kedua bahasa itu tidak dapat disebut bahasa global.

Perubahan ekologi masyarakat etnis ternyata berpengaruh terhadap bahasa. Arka mengambil contoh di Papua. Ada banyak laporan mengenai konflik antara kepentingan perusahaan internasional dengan hilangnya budaya masyarakat etnis.

(Baca juga: Globalisasi, Tantangan Eksistensi Bahasa Etnis)

Transformasi hutan ke perkebunan kelapa sawit atau lokasi persawahan menjadi ancaman bagi kearifan lokal dan keberadaan suatu etnis. Seiring melemahnya posisi masyarakat etnis, eksistensi bahasa pun terancam secara serius.  

Menurut Arka, usaha konservasi bahasa tidaklah ringan. Keberhasilan usaha konservasi dan advokasi bahasa minoritas memerlukan pendekatan interdisipliner, dengan program jangka panjang yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Keuntungan ekonomis suatu bahasa etnis bagi penutur lokal pun turut menjadi pertanyaan besar bagi kerja-kerja konservasi bahasa.

Karena itu, Arka mengatakan, untuk membantu konservasi bahasa etnis minoritas, diperlukan penguatan modal ekonomi, sosiobudaya, dan linguistik mereka. Ia mencatat ada sembilan kesadaran (melek/literacy) yang diperlukan, yaitu melek politik, moral, organisasional, ekonomi, pedagogic, spiritual-religius, budaya, informasi, dan sejarah.

“Untuk memecahkan masalah kebahasaan, perlu adanya bangunan jejaring yang kuat, baik antar institusi maupun antar peneliti,” imbuh Ketua P2KK LIPI, Sri Sunarti Purwaningsih. Seperti ditegaskan I Wayan Arka, bahasa etnis bukan hanya masalah masyarakat minoritas, tapi juga kita semua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement