REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Globalisasi dan etnisitas. Dua istilah itu terdengar amat bertentangan.
Globalisasi seringkali menyamarkan, bahkan menghancurkan, identitas etnis. Vitalitas suatu etnis pun diuji di tengah dunia global.
Kendati demikian, "Masyarakat etnis harus menerima kenyataan, mereka hidup di tengah dunia yang terus meng-global," kata linguis asal Australian Nasional University, I Wayan Arka, dalam International Conference on Language, Culture, and Society, di LIPI, Rabu (25/11)..
Salah satu unsur kebudayaan masyarakat etnis minoritas yang terdampak oleh globalisasi adalah bahasa etnis. Indonesia merupakan laboratorium bahasa terbesar nomor dua di dunia.
Ada kurang lebih 746 bahasa etnis, mayoritas terkonsentrasi di Indonesia timur. Vitalitas bahasa-bahasa etnis itu beragam. LIPI menyebut, 13 bahasa di Indonesia mengalami kepunahan setiap tahun.
Membincangkan vitalitas bahasa, tidak bisa tidak kita pasti akan membincangkan masyarakat penuturnya. Pasalnya, bahasa adalah bagian dari masyarakat.
Di kancah masyarakat global, etnis minoritas biasanya sangat lemah dan kurang beruntung dalam segala aspek.
Istilah minoritas di sini berkaitan dengan populasi (population), kekuatan (power), dan kesempatan (opportunity).
"Kekuatan bahasa tidak semata-mata terletak pada bahasanya, tetapi kekuatan komunitas penuturnya," kata Arka.