REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Purwo Santoso menilai sesuai rekaman percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto dan pihak Freeport yang beredar, kasus tersebut bukan hanya masalah pencatutan nama presiden, namun bisa dikategorikan sudah masuk ranah pemerasan.
"Kasus ini seharusnya tak hanya kasus pencatutan nama, tetapi sudah masuk ranah pemerasan, tetapi apapun itu, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang memiliki kode etik apakah sekedar pelanggaran kode etik atau dapat diajukan pada delik aduan," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (20/11).
Terkait posisi Setnov di DPR, ini menjadi hak DPR seluruhnya. Namun dalam kode etik tidak ada keharusan Setnov untuk mengundurkan diri. Prosedur dan proses kasus Setnov ini tetap dikembalikan kepada DPR. Apakah melalui konsesus atau keputusan akhir hanya sampai di MKD saja.
(Baca: Menteri ESDM Serahkan Rekaman Suara Pertemuan Setnov-Freeport ke MKD)
Seperti diketahui, Menteri ESDM Sudirman Said mengungkapkan bahwa ada politikus kuat yang meminta jatah saham, dalam perpanjangan kontrak PT Freeport. Politikus yang diduga Setya Novanto itu disebut telah mencatut nama Presiden Jokowi dan JK.
Saat ini, Sudirman Said telah menyerahkan bukti rekaman ke Mahkamah Kehormatan Dewan, dan tengah dalam proses verifikasi. Dalam rekaman tersebut juga disebut-sebut nama Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan.
(Berita lainnya: JK Akui Beri Lampu Hijau Sudirman Said Lapor ke MKD)