Jumat 20 Nov 2015 05:30 WIB

Bara di Talang Air

Bintang Kejora, bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Foto: napiremkorwa.blogspot.com
Bintang Kejora, bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Fitriyan Zamzami/ Wartawan Republika

Menara talang air setinggi 35 meter itu masih tegak berdiri, meski tampak tak terurus. Bagian atas bangunan tersebut, yang bentuknya kerucut terbalik, kusam penuh noda hitam. Di sekitar talang air itu, terlihat bangunan-bangunan dengan kondisi tak kalah mengenaskan. Pintu dan jendela jebol, cat terkelupas, dan atap-atapnya copot di sana-sini. Ada pagar setingggi dua meter yang mengelilingi kompleks talang air.

Bangunan peninggalan zaman Belanda itu terletak tak jauh dari Pelabuhan Kabupaten Biak Numfor, Papua. Di puncaknya, bendera pergerakan nasionalis Papua Barat, Bintang Kejora, pernah berkibar selama empat hari, dari 2 Juli sampai 6 Juli 1998.

Rentang waktu tersebut adalah masa terlama bendera Bintang Kejora pernah berkibar di muka umum di seantero Papua. Kejadian yang mengambil tempat setelah pengibaran itu juga merupakan salah satu episode paling kelam dalam ingatan warga Biak. Saat riuh piala dunia menyapu seantero dunia, Biak punya riuhnya sendiri.

Saya bertemu dengan salah seorang saksi peristiwa tersebut tak jauh dari lokasi, pekan lalu. Dia seorang pria berumur sekitar 40 tahun yang saat ini bekerja di salah satu dinas di Pemkab Biak.

Untuk keselamatan dan keberlangsungan pekerjaannya, ia minta namanya ditulis John saja. Ia berulang kali pindah dari kampus ke kampus di Jawa dan Bali karena aktif mendukung kemerdekaan Papua semasa kuliah.

Sudah bukan rahasia, salah satu penggagas pengibaran bendera di Biak kala itu adalah Filep Karma, yang kini tengah mendekam di Penjara Abepura, Jayapura, terkait peristiwa tersebut. Menurut John, ia mengetahui secara langsung awal mula kejadian di talang air.

Pada 30 Juni 1998, menurut John, ia hadir di kediaman orang tua Filep Karma di Biak. Ia mendengar, Filep meminta izin kepada ayahnya yang tengah sakit, Andreas Karma, untuk mengibarkan bendera. "Bapa (Andreas) bilang sama Filep, Ko (kamu) punya senjata berapa, punya pasukan berapa, mau kasi naik bendera?" ujarnya.

Artinya, menurut John, Andreas tak mengizinkan Filep mengibarkan Bintang Kejora. "Tapi, sekarang sudah lain. Biar saya berjuang dangan cara saya sendiri," ujar John menirukan jawaban Filep untuk Andreas.

Saat itu di Papua beredar surat dari seorang anggota parlemen Amerika Serikat (AS) yang meminta Pemerintah Indonesia mempertimbangkan kedudukan politik warga Papua. Merasa mempunyai dukungan internasional, menurut John, Filep meyakini, saat itulah saat paling tepat mengumumkan kemerdekaan Papua Barat.

Buat para pendukung kemerdekan di Papua, persoalan masuknya wilayah itu ke Indonesia adalah persoalan yang belum pungkas. Mereka menilai, referendum yang digelar pada 1969 cacat karena tak menyertakan seluruh warga asli Papua. Saat itu, sekitar seribu orang perwakilan dipilih Pemerintah Indonesia dan mereka kemudian secara bulat menyatakan kesediaan bergabung dengan Republika.

Kelompok yang menolak keputusan bergabung tersebut kemudian memproklamasikan berdirinya negara Papua Barat pada 1 Juli 1971. Sejak itu, upaya-upaya memisahkan Papua dari Republik Indonesia terus dilakukan. Utamanya oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Tepat 27 tahun kemudian, pada 1 Juli 1998, Filep kemudian menggelar demonstrasi di bawah talang air. Sekitar 50 sampai 80 orang hadir saat itu. Dalam aksi unjuk rasa itu kemudian dibacakan tuntutan kemerdekaan dan perlakuan adil terhadap warga Papua. John mengatakan, Andreas sempat hadir saat pembacaan tuntutan, namun kemudian pulang karena kondisi badan tak sehat.

Pukul 05.00 pagi WIT, Filep dan puluhan warga kemudian menaikkan bendera ke puncak talang air. Setelah itu, seketika ratusan orang dari seantero Biak berkumpul di bawah talang air. John menuturkan, ia sendiri terkejut melihat jumlah orang yang hadir. "Ada yang PNS, ada yang dari kampung-kampung sana," ujar John.

Tentara dan kepala daerah setempat, menurut John, sempat mendatangi lokasi demonstrasi untuk meminta para demonstran menurunkan bendera. Tapi, permintaan itu tak digubris. Orasi-orasi terus digaungkan. Tarian-tarian adat pun terus digelar.

Jalan-jalan di Biak lengang. Pasar Impres yang terletak tak jauh dari talang air juga sepi. Warga pendatang di Biak yang melintas di daerah sekitar lokasi harus membayar visa masuk seharga Rp 500. "Kita juga disuruh berhenti dan hormat bendera (Bintang Kejora)," kisah Siti Khus, salah satu warga pendatang di Biak.

Tentara akhirnya habis kesabaran pada Ahad, 5 Juli. Ketika itu, mereka mendatangi gereja-gereja dan meminta pendeta membujuk para peserta aksi pulang ke rumah dengan ancaman penertiban paksa. John salah satu yang mengetahui imbauan itu. Pada 6 Juli dini hari, dia mengumpulkan saudara-saudaranya dan kerabat yang masih bertahan di bawah talang air untuk bergerak pulang.

Ia berpapasan dengan truk tentara dan brimob yang menuju ke talang air. "Kalau terlambat sedikit saja mungkin saya sudah tra (tidak) ada," katanya.

John mendengar rentetan tembakan memecah subuh. Pang... pang... pang, terus menyambung sampai matahari naik. Seorang perwira TNI AD di Biak mengiyakan kesaksian John. "Waktu itu kita datangkan dari Ambon pasukannya. Dari Jayapura juga," ujarnya.

Dari kepolisian, Brimob ikut diturunkan. Orang-orang ramai menyaksikan bagaimana sebagian tentara dan polisi turun menggunakan tali dari helikopter ke puncak talang air dan menurunkan bendera. Perwira itu tak lebih jauh menceritakan detail peristiwa, tapi mengakui beberapa warga tewas tertembak.

Imron (40 tahun), warga yang tinggal dekat talang air mengatakan, ia menyaksikan puluhan peserta aksi digiring ke pelabuhan setelah bendera berhasil diturunkan. Para peserta aksi ditahan di pelabuhan sampai sekitar tiga hari.

Menurut John, selepas peristiwa talang air, pembangunan di Biak seperti berhenti. Kantor-kantor tak diperbarui, pusat perbelanjaan tak bertambah, jarang pula dibuka kompleks perumahan baru. Pabrik-pabrik pengalengan ikan dan pengolahan kayu rata dengan tanah. "Hanya tentara saja yang tambah banyak," ujar John.

Kendati tak pernah lagi terjadi pertunjukan terbuka aspirasi kemerdekaan Papua di Biak, masyarakat setempat punya cara sendiri untuk memberontak. Bahkan, di pulau-pulau terpencil di Biak, ada tanda-tanda tersembunyi dukungan terhadap kemerdekaan. Ada kerang yang disusun membentuk bendera Bintang Kejora di jalan kampung, juga rumah yang dicat garis-garis biru, putih, dan merah, warna dasar bendera Bintang Kejora. Tanah-tanah milik warga asli Biak juga tak pernah rela diserahkan untuk pembangunan.

Keadaan di Biak serta penembakan oleh kelompok bersenjata maupun aparat keamanan yang terus terjadi di Papua belakangan seperti mencerminkan, aspirasi kemerdekaan di Papua masih jauh dari padam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement