REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Penduduk Jakarta yang jumlahnya sekitar 11 juta dengan jumlah laki-laki dan perempuan nyaris sama ternyata menghasilkan sampah kurang lebih 6.500 ton per hari. Jumlah sampah sebanyak ini wajar mengingat tingkat kepadatan hunian penduduk ibu kota adalah 15.100 orang per kilometer persegi. Ditambah pada siang hari para pekerja yang berdomisili di luar Jakarta juga merangsek ke DKI untuk bekerja.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Suara Jakartaku Ardian Chaniago mengatakan, sebulan lalu belum ada ribut-ribut soal Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di Bantar Gebang Bekasi, Jawa Barat antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan DPRD Kabupaten Bekasi.
Di areal TPST Bantar Gebang yang luasnya ratusan hektare itu, kata Ardian, tumpukan sampah terlihat luar biasa banyaknya. Bermacam ragam jenis sampah menggunung 20-30 meter dari permukaan tanah datar jalan raya dan harus mengendap lama di atas lahan milik Pemda DKI Jakarta tersebut.
“Di sana juga banyak ditemukan binatang terkategori kotor bersama tumpukan sampah, seperti lalat, kecoa, dan lainnya,” kata Ardian di Jakarta, Jumat (13/11).
Di sisi lain, Adrian melanjutkan, dia melihat setiap Senin, Rabu, dan Jumat antara jam 6.00 sampai jam 7.30 WIB banyak petugas pengambil sampah yang berstatus swadaya karena mereka bukan aparatur sipil negara Pemda DKI Jakarta. Mereka menarik gerobak sampah berkeliling di sejumlah titik ibu kota.
“Mereka berhenti per lima puluh meter di gang-gang sempit mengumpulkan sampah-sampah dari tong sampah dan kantong plastik rumah-rumah penduduk yang rapatnya bukan main,” ujarnya.
Setiap bulan, satu rumah berkontribusi membayar uang sampah dengan beragam jumlah, mulai Rp10 ribu sampai Rp 50 ribu. Penanganan sampah ini dinilainya sebagai perhatian luar biasa dari Pemda DKI Jakarta terhadap sampah kategori fisik.
Akan tetapi, untuk kategori sampah psikis, yakni warga yang menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, Pemda DKI sama sekali belum terlihat melakukan penanganan sebaik penanganan sampah fisik. Padahal, Pemda DKI Jakarta mengalokasikan anggaran ratusan miliar rupiah untuk menangani masalah sampah fisik. Namun, DKI lupa untuk mengalokasikan anggaran untuk menangani sekitar 500 ribu orang yang sudah terbukti diputuskan bersalah oleh pengadilan kemudian dipenjara maupun dirawat di panti rehabilitasi karena narkoba.
“Ternyata sampah psikis masyarakat itu sama sekali tidak terlihat ditangani dengan baik oleh Pemda DKI,” ujar Adrian.
Dijelaskannya, saat ini belum ada kemauan kuat dari Pemda DKI Jakarta mendirikan rumah sakit (RS) khusus bagi pengidap ketergantungan narkoba dan efek zat adiktif lainnya layaknya seperti yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI dengan RS Ketergantungan Obat (RSKO).
“Apalagi panti rehabilitasi, Pemda DKI Jakarta sama sekali belum terlihat nyata memiliki,” katanya.
Karena itu, Adrian menyarankan sebaiknya Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mau membuka hati mewujudkan hal itu. Idealnya, semua jenis sampah di Jakarta sebaiknya ditata kelola dengan baik agar tidak membebani masyarakat secara umum. Lagipula, secara khusus, RS khusus pengidap ketergantungan narkoba bisa menolong masyarakat yang keluarganya terkategori memiliki sampah psikis agar psikologi mereka tidak semakin terganggu.
“Intinya, DKI sebaiknya memperhatikan kesehatan jiwa masyarakat dari efek narkoba yang sudah semakin menggila,” kata Adrian.