REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebakaran hutan akhir-akhir ini telah menjadi isu Internasional yang tak kunjung selesai dan terus berulang hampir tiap tahun. Namun penegakkan aturan terkait pengelolan hutan juga tak jelas.
Direktur Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Faizul Ishom mengatakan, pembakaran hutan yang berujung pada peningkatan kabut asap di pelbagai daerah sangat beragam.
"Di antaranya pembakaran hutan untuk membuka lahan baru perkebunan seperti yang banyak terjadi di daerah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi," katanya, Rabu (11/11).
Pembakaran hutan juga untuk menumbuhkan tanaman baru yang lebih produktif dari tanaman sebelumnya. Seperti di daerah Maluku untuk pembakaran kayu putih, Sumba Timur untuk pembakaran rumput.
"Kebanyakan pembakaran hutan awalnya merupakan suatu kearifan lokal yang terkontrol. Namun sekarang berubah menjadi bencana ketika disusupi oleh aksi oknum yang tidak bertanggung jawab," ujar Faizul.
Kerugian yang terjadi akibat bencana asap itu tidak hanya materi yang tak terhitung nilainya. Namun juga kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.
Ini yang membuat lebih berbahaya. Makanya pengolahan hutan itu sebaiknya sesuai aturan.
"Kita tegakkan kembali aturannya. Nilai kerugian akibat bencana asap di tahun 2015 belum dihitung secara pasti namun data BNPB menyebutkan kerugian akibat kebakaran 1997 mencapai 2,45 miliar dolar AS," ujarnya.