Selasa 10 Nov 2015 00:10 WIB
Hari Pahlawan

Ketika Jokowi Bertanya Asal Usul Hari Pahlawan

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (tengah) bersama Dirut LKBN Antara Saiful Hadi (kiri) dan Ketua LVRI Surabaya Hartoyik (kanan) memberikan penjelasan saat diskusi Kupas Tuntas Peristiwa 10 November 1945 di Kantor LKBN Antara Biro Jatim, Surabaya, Ja
Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (tengah) bersama Dirut LKBN Antara Saiful Hadi (kiri) dan Ketua LVRI Surabaya Hartoyik (kanan) memberikan penjelasan saat diskusi Kupas Tuntas Peristiwa 10 November 1945 di Kantor LKBN Antara Biro Jatim, Surabaya, Ja

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- "Kenapa (peringatan Hari Pahlawan) harus di Surabaya?" tanya Presiden Joko Widodo kepada Mensos Khofifah Indar Parawansa.

Dialog itu diungkap Mensos di hadapan puluhan peserta diskusi kepahlawanan bertajuk "Kupas Tuntas Peristiwa 10 November" yang diadakan Perum LKBN Antara di Surabaya, Senin (9/11).

Jawaban atas pertanyaan Kepala Negara itu adalah banyak. "Presiden masih bertanya lagi, siapa saja, lalu saya ungkapkan dan akhirnya beliau memberi paraf untuk peringatan di Surabaya," tuturnya.

Selain itu, susunan acara peringatan Hari Pahlawan Nasional juga dibuat lebih berwarna, yakni ada nasihat pahlawan dan harapan Generasi 2085 (Indonesia 70 tahun lagi) dalam upacara dengan Irup Presiden Joko Widodo itu.

Diskusi LKBN Antara itu pun ditandai dengan kesaksian sejarah oleh Ketua LVRI Surabaya Hartoyik saat turut berjuang mengangkat senjata dan pemutaran film "10 November" produksi Berita Film Indonesia (BFI) oleh sejarahwan UI Dr Roesdhy Hoesein yang diikuti penjelasan seperlunya.

"Saya adalah anak kuno yang lahir di Jombang pada 15 Maret 1929, lalu saya pensiun dari TNI pada tahun 1980, tapi anak buah saya, baik pejuang maupun pembela, masih ada 2.119 orang yang masih hidup di Surabaya," ucap Hartoyik.

Dalam perjuangannya sejak November 1945 hingga 27 Desember 1949 atau sekitar empat tahun dan empat bulan itu, ia mengaku tahu Proklamasi Kemerdekaan setelah dua hari dipublikasikan.

"Setelah kemerdekaan itu terbentuk barisan-barisan mulai dari BKR/TKR hingga terbentuk ABRI/TNI dengan dipersenjatai seadanya," kata anggota Laskar Hizbullah yang dipimpin KH Wahid Hasyim itu.

Namun, tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) membonceng pasukan Sekutu untuk menjajah kembali dengan mengibarkan Bendera Merah-Putih-Biru di Hotel Orange (Hotel Majapahit) pada 18 September 1945 pukul 21.00 WIB.

Menyaksikan hal itu, Arek-Arek Suroboyo pun langsung melawan dengan melakukan Perobekan Bendera Merah-Putih-Biru pada 19 September 1945, karena pengibaran bendera tri-warna adalah penghinaan.

"Perlawanan sporadis pun terjadi dimana-mana pada kurun 27-29 Oktober 1945 hingga memaksa Pasukan Sekutu untuk menghadirkan Presiden Soekarno ke Surabaya untuk mendorong dialog," katanya.

Namun, Jenderal Mallaby selaku pimpinan Sekutu berusaha menggertak dengan rentetan tembakan, sehingga Arek-Arek Suroboyo pun tersinggung hingga akhirnya jenderal itu tewas pada 30 Oktober 1945 pukul 21.30 WIB.

Realitas sejarah yang dituturkan Hartoyik itu dibenarkan sejarawan UI Roesdhy Hoesein dengan membandingkan dengan fakta dalam film buatan Berita Film Indonesia (BFI).

"Visual 10 November 1945 itu sebenarnya banyak, tapi sejarah adalah diskusi yang selalu ada perkembangan baru, namun Peristiwa 10 November 1945 itu ada tiga fakta penting," ungkapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement