Senin 02 Nov 2015 16:32 WIB

Kasus Tolikara dan Aceh Singkil Pemicu Lahirnya SE Ujaran Kebencian

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah anggota TNI mengerjakan pembangunan pondasi untuk pembangunan Mushalla di Tolikara, Papua, Jumat (24/7).  (Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Sejumlah anggota TNI mengerjakan pembangunan pondasi untuk pembangunan Mushalla di Tolikara, Papua, Jumat (24/7). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menandatangani Surat Edaran (SE) ujaran kebencian atau hate speech. SE tersebut ditandatangani pada 8 Oktober lalu dengan nomor SE/06/X/2015.

Kadiv Humas Polri, Irjen Anton Charliyan menjelaskan, kasus Tolikara dan Aceh Singkil merupakan salah satu alasan utama pemicu SE tersebut ditandatangani. Pasalnya, konflik tersebut akibat provokasi melalui dunia maya. "Jangan sampai elektronik jadi alat," ujarnya, di Mabes Polri, Senin (2/11).

SE tersebut, Anton mengatakan, bukan bermaksud membungkam masyarakat menyatakan pendapat. SE tersebut hanya untuk mengingatkan agar tidak sembarangan dalam mengeluarkan pendapat.

Terutama menyangkut suku, ras, dan agama, Anton menekankan agar lebih berhati-hati. Sehingga tidak menimbulkan dampak luas. "Kita kalau berbicara harus menghargai orang lain," kata Anton.

Kendati demikian, lanjutnya, polisi tidak bisa serta merta melakukan penindakan terhadap seseorang atau kelompok yang mengeluarkan ujaran kebencian. Saksi ahli tetap akan digunakan polisi dalam mengusut kasus ini.

Disamping itu, polisi tidak akan mengusut apabila tidak ada laporan dan dampak yang ditimbulkan. Mediasi, menurut jenderal bintang dua tersebut juga tetap akan dilakukan. "Sekarang sedang disusun juknisnya seperti apa nanti," tambahnya.

Bentuk ujaran kebencian yang dimaksud dalam SE tersebut di antaranya pada Nomor 2 huruf (f) disebutkan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP.

Kemudian, SE tersebut menjelaskan terkait ujaran kebencian yang dilakukan melalui media. Misalnya, dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring sosial, penyampaian pendapat di muka umum, ceramah keagamaan, media massa cetak atau elektronik dan pamflet.

Karopenmas Polri, Brigjen Agus Rianto menambahkan, SE tersebut merupakan pedoman bagi anggota polisi. Sehingga polisi tidak ragu-ragu dalam melakukan penindakan.

"SE itu bukan dasar hukum untuk melakukan penindakan. Dasar hukum tetap menggunakan KUHP dan UU lainnya," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement