Ahad 25 Oct 2015 13:54 WIB

'Kekerasan Anak adalah Kejahatan Luar Biasa'

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
ilustrasi Kekerasan Anak
Foto: Republika On Line/Mardiah diah
ilustrasi Kekerasan Anak

REPUBLIKA.CO.ID, Kekerasan terhadap anak marak terjadi. Tahun 2015 saja di wilayah Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak angkanya mencapai 1.725 kasus pelanggaran hak anak dari Januari dan Juni. Sebanyak 52 persennya kejahatan seksual.

Karena itu, untuk memutus mata rantai, peran pemerintah selain membentuk tim reaksi cepat, menurut Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan pemerintah harus mengatakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan yang luar biasa. Ini supaya orang tidak beranggapan mencubit atau memukul itu adalah hal biasa.

“Kan mukul dulu baru nendang, nggak puas nendang, ngelempar, nggak puas ngelempar, pukulin pakai kayu besar, nggak mati-mati, buang ke laut.  Karena anak seperti itu, tidak mampu melawan maka kekerasan makin dahsyat, ketika anak tidak melawan, emosional memuncak. Ini perilaku salah dari orang dewasa ketika melakukan kekerasan. Jadi negara dalam hal ini pemerintah tidak boleh alpa,” jelasnya ketika ditemui Republika.co.id, di kantornya, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Selain menetapkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan luar biasa, pemerintah juga bisa memerintah walikota atau bupati untuk mengorganisir atau memberi perintah kelurahan-kelurahan, bagaimana menciptakan kelurahan ramah anak.

Lewat tim reaksi cepat tadi, juga bisa lakukan pelatihan parenting skill. Juga ada program pencegahan, deteksi dini dan diskusi atau evaluasi. “Jadi tidak hanya negur tetangga melakukan kekerasan, tapi ada pencegahan memafaatkan kelurahan memanfaatkan desa, sekali sebulan berdiskusi tentang itu bagaimana caranya,” jelasnya.

Misalnya mengevaluasi ada tidak korban kekerasan atau tidak, ada kecenderungan masyarakat melakukan kekerasan atau tidak. Di situ perannya. Menurutnya, kalau itu bisa sungguh amat luar biasa. Karena ada evaluasi melihat warga.

“Kalau kita mau memutus mata rantai kekerasan terhadap anak. Kalau hanya harapkan peran pemerintah saja atau bergantung pada peran komnas anak saja, tidak mungkin. Memang itu bisa dilakukan satu dua. Tapi kasus selesai, besok lagi muncul. Yang terpenting bagaimana melakukan pencegahan bukan penanganan. Penanganan harus dilakukan tapi program pencegahan lebih baik,” paparnya.

Arist yakin jika semua lini bergabung, misalnya dari orang tuanya, pemerintah, dan masyarakatnya ikut berperan mencegah kekerasan terhadap anak. Maka ia yakin akan berjalan efektif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement