Senin 12 Oct 2015 10:00 WIB

Darurat Perlindungan Anak Indonesia

Red: M Akbar
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti.
Foto:

Pada contoh ini seorang pelaku kejahatan seksual tidak akan lepas dari pengawasan negara dan masyarakat. Ia akan terus diwaspadai dan diamati untuk menghindari kemungkinan terulangnya tindak pidana tersebut.

Selain program dan regulasi tersebut, New York City Department of Education, semacam dinas pendidikan bagi kita di sini, mengeluarkan peraturan-peraturan spesifik untuk mengamankan anak dari bahaya kekerasan seksual. Mereka mengatur hal-hal berikut ini:

1.    Siswa tidak boleh pulang dengan orang asing

2.    Siswa tidak boleh berbicara dengan orang asing

3.    Siswa tidak boleh menerima barang apa pun dari orang asing

4.    Jika siswa didekati orang asing saat berada di dekat sekolah, siswa harus segera kembali ke sekolah dan memberitahukan staf sekolah

5.    Siswa yang masih kecil harus diantar dan dijemput

6.    Siswa yang lebih tua sebisa mungkin pergi dan pulang sekolah dengan berkelompok

Dari contoh yang saya perhatikan di atas, saya melihat bahwa semuanya berawal dari budaya di tengah masyarakat. Saya merasa, budaya yang sama penting untuk kita tanamkan di Indonesia. Sebuah budaya kewaspadaan untuk melindungi anak-anak kita.

Misalnya, saja dengan cara kita mengajarkan anak-anak kita untuk mengenali siapa saja yang boleh menyentuh diri mereka. Misalnya saja orang tua, saudara kandung, atau orang yang kita percaya untuk berinteraksi dengan anak-anak kita.

Selain itu, mengajarkan anak-anak kita untuk berani mengatakan frase-frase yang menunjukkan penolakan, seperti ‘JANGAN SENTUH SAYA’ atau berteriak ‘JANGAN DEKATI SAYA’ ketika ada orang lain berusaha mendekatinya.

Frase di atas dapat juga ditunjukkan kepada orang-orang terdekat. Karena, kita juga melihat bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak banyak berasal dari orang terdekat, seperti keluarga, guru, dan teman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement