Jumat 09 Oct 2015 14:31 WIB

Pak Jokowi, Selamat Nikmati Asap Sumatra

Kabut asap menyelimuti Pekanbaru.
Foto: Antara
Kabut asap menyelimuti Pekanbaru.

Surat Terbuka Warga Riau pada Presiden Jokowi

Yakinkan saya bahwa ini bukan genosida.

***

Selamat pagi Pak Jokowi, bagaimana tidurnya tadi malam di Sumatera?

Semoga segar ya Pak. Soalnya hujan turun berkali-kali. Luar biasa! Rakyat Riau yang jadi korban asap, setelah dua bulan lebih, akhirnya dapat melihat matahari lagi. Kedatangan Bapak, lebih 'makbul' mengalahkan jutaan doa kami.

Pak, mumpung udara lumayan segar, saya ingin sedikit bercerita. Saya lahir di sebuah kota kecil, Siak namanya. Dulu saat saya SD, kami diajari bahwa Indonesia hanya punya dua musim, panas dan hujan. Tapi sejak menginjak bangku SMP, kami mengenal musim lain lagi, namanya musim kebakaran hutan.

Itu kisah 17 tahun lalu lho Pak. Selama itu pula kami tak pernah merasakan 365 hari udara segar. Karena akan ada masa matahari tak bisa tembus menyinari tanah kami. Semuanya mendadak terlihat seperti negeri di atas awan. Padahal aslinya asap.

Dulu yang kami tahu, bila ada lahan terbakar, hanya akan dipadamkan secara gotong royong. Tapi sejak beberapa tahun terakhir asap semakin menjadi-jadi. Apalagi tahun ini, bisa dibilang paling mengerikan karena berbulan-bulan asap tak mau hilang. Ia betah di negeri kami.

Jadi Pak, sebenarnya dulu negeri kami tak begini.

Pak, apakah rakyat Indonesia tahu, untuk memadamkan kebakaran hutan ada cara-cara lebih modern. Istilahnya water bombing atau bom air. Cara kerjanya, helikopter akan membawa semacam tabung air yang digantungkan di bawah heli. Lalu helikopternya terbang ke sumber air, mengangkut air dan menyiramkan air di titik api yang ada.

Cara ini sulit lho pak. Sang pilot harus bolak balik, dari sumber air ke titik api, berkali-kali, dengan gerak yang cukup terbatas karena harus menjaga jarak pandang dan ketinggian dari batas panas.

Tapi kalau api membara dan asap kian pekat, helikopter itu tak bakal terbang. Jadi pada waktu tertentu, sebenarnya ribuan titik api itu hanya dibiarkan begitu saja.

Apakah masyarakat Indonesia tahu, ongkos parkir heli itu mahal. Apalagi mayoritas helikopter untuk mengatasi bencana, ternyata bukanlah milik kita tapi sewaan dari pihak asing. Pilot dan semua kru di dalamnya, rata-rata para bule yang berasal dari perusahaan sewa menyewa helikopter.

BNPB mengakui, bila harga sewanya mencapai 6.000 dollar AS atau sekitar Rp84 juta per jam! Mahal banget ya Pak. Andai dalam sehari disewa 5 jam saja, artinya Rp420.000.000. Dikali tiga bulan sejak kebakaran kian meluas. Lalu dikali lagi bertahun-tahun sejak kebakaran lahan dan hutan. Wuiiiiiih....

Meski begitu Pak, saya menaruh hormat pada tim pemadam. Khususnya yang di darat. Mereka pahlawan kami. Tapi kira-kira mereka tahu gak ya Pak, jika jumlah titik api yang mereka padamkan itu ribuan, dengan luasan ratusan hektar? Satu dipadamkan, masih ada ribuan titik api lainnya membara. Kasihan ya Pak mereka.

Ada juga cara lain memadamkan api. Istilah modifikasi cuaca. Sederhananya sih berton-ton garam akan diangkut menggunakan pesawat jenis Cassa, lalu garam itu ditaburkan di atas langit suatu daerah, dengan tujuan agar terkumpul awan yang bisa mendatangkan hujan. Cara kerjanya juga suliiiiiiit sekali. Harus benar-benar terprediksi, bila tak ingin hanya menabur garam sia-sia.

Kira-kira, rakyat Indonesia tahu gak ya, kalau modifikasi itu muahaaaal sekali. BNPB melansir, untuk 90 hari kerja saja, dibutuhkan anggaran hingga Rp40 miliar. Artinya dengan kalkulasi sederhana, dalam sehari dibutuhkan biaya modifikasi cuaca bernilai ratusan juta, hanya untuk 'membuang' garam. Luar biasa.

Untuk dua kegiatan itu, BNPB tahun ini saja, sudah menyiapkan dana siap pakai sebesar Rp385 miliar. Itu kabarnya hanya di Riau saja (tolong koreksi bila saya salah, maklum Pak, saya copas dari media online yang ada aja). Bila masuk situasi tanggap darurat seperti sekarang, katanya biaya yang tersedia bahkan sampai 'tak berbatas' Ck...ck...ck...

Logika bodoh saya sebagai rakyat nih Pak, jika anggaran untuk penanggulangan asap tiap tahun terus meningkat, dengan nilai yang juga luar biasa dahsyat, artinya bencana ini sudah diprediksi jauh sebelum bencana benar-benar terjadi.

Semoga logika saya benar-benar bodoh ya Pak. Karena jika ternyata kebodohan itu benar adanya, tentu wajar jika saya katakan, ini bukan lagi bencana, tapi genosida.

Pak, saya aja ngeri sendiri membaca definisi genosida, yang memang beberapa diantara poinnya sudah kami alami. Meski cuma sebagian kecil.

Misalnya, sebagian kami sudah berjatuhan jadi korban, baik materi maupun nyawa, sebagian kami sudah didera penyakit asma akut, fisik lemah bertahun-tahun menghirup asap, sebagian kami, melahirkan anak-anak yang terancam idiot. Anak-anak kami juga dipaksa untuk tidak sekolah, tidak keluar rumah. Terkurung asap.

Mudah-mudahan saja itu cuma logika bodoh saya. Maklumlah, 17 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Saya merasakan asap sejak masih perawan hingga jadi Ibu satu anak. Mungkin otak saya kini sudah mulai rusak.

Pak, kami sudah bosan dikibuli, diberi janji-janji bakal tak ada asap lagi. Akhir tahun lalu, Bapak sendiri lho yang bilang bahwa mengatasi bencana asap itu mudah saja dan September 2015 ditargetkan semua asap lenyap.

Tapi buktinya, malah di bulan yang bapak janjikan itu,bencana asap menjadi yang paling terparah sepanjang sejarah. Terpaksa deh kami gigit dua jari!

So, selamat menikmati asap Sumatera ya Pak Jokowi. Mohon nanti kalau pulang, asapnya dibawa serta ke 'Jakarta'. Agar langit kami benar-benar biru dan para korban asap tak lagi termengap-mengap.

Salam

Afni Zulkifli, Ibu dari seorang putri 3,5 Tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement