Kamis 08 Oct 2015 07:02 WIB

Cukai Naik, Ini Dampak Buruknya

  Seorang warga menjemur tembakau di Desa Ngerong, Kab. Magetan, Jatim.
Seorang warga menjemur tembakau di Desa Ngerong, Kab. Magetan, Jatim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memastikan akan menaikkan tarif cukai rokok hingga 15 persen pada 2016 mendatang. Kenaikkan sebesar itu ditegaskan Direktur Penerimaan dan Peraturan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Soegeng, Rabu (7/10).

 

Tentu saja, sikap itu seakan menafikan keberatan yang dilayangkan berbagai kalangan industri kepada pemerintah. Sebelumnya organisasi pengusaha seperti Apindo, Gappri, organisasi pabrik rokok di daerah, hingga kalangan petani telah melayangkan surat keberatan baik ke Presiden langsung maupun ke kementerian terkait.

Fendy Setiawan, Anggota Forum Pertembakauan Jawa Timur menilai, meski sudah direvisi, kenaikan cukai tahun depan sebesar 15 persen masih terlalu tinggi. Dengan kenaikkan sebesar itu, diperkirakan industri hasil tembakau (IHT) harus menyetor ke kas pemerintah di tahun depan sekitar Rp 139 triliun.

“Kenaikkan itu tidak realistis dan sangat tidak pas dilakukan saat semua indikator ekonomi tengah turun dan daya beli masyarakat juga anjlok. Ini sangat memberatkan industri," ujar Fendy, saat dihubungi wartawan, Rabu (7/10). 

 

Fendy menghitung, ada 6 juta pekerja yang bergantung ke industri hasil tembakau mulai dari hulu hingga hilir. Kenaikan cukai di saat sekarang justru hanya melahirkan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran di industri hasil tembakau.

 

Saat ini, IHT bisa bertahan itu sudah bagus. Namun menurutnya, jika terus ditindih dengan beban cukai yang terlalu berat, pilihan PHK terhadap pekerja bisa menjadi pilihan yang tak terelakkan. Karena sejatinya, industri sudah kesulitan untuk menaikkan harga jualnya.

Tidak hanya itu, dampak lanjutannya, pabrikan rokok bakal menunda pembelian tembakau. Bak bola salju, petani tembakau pun akan terkenda dampak yang tak kalah berat dengan industri.

"Sekarang ini masa tanam dan dua tiga bulan lagi panen, kebijakan cukai ini makin menambah ketidakpastian dalam bertani," imbuh Fendy.

Diperkirakan, korban kenaikkan cukai ini akan menggilas lebih dulu pabrik rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan. Dalam lima tahun terakhir, penurunan SKT rata-rata sebesar 3,7 persen. Penurunan produksi sebesar itu membuat 34 ribu orang kehilangan pekerjaan.

 

Selanjutnya, gelombang PHK akan menyerang ke sigaret kretek mesin (SKM). Di Jawa Timur, tanda-tanda itu sudah tampak. Setidaknya ada tujuh pabrik yang bakal merumahkan karyawannya. Sebagai gambaran, PT HM Sampoerna Tbk dan PT Gudang Garam Tbk telah merumahkan 18 ribu lebih pekerjanya.

 

“Saat ini, IHT itu hanya menanggung kenaikkan cukai di kisaran 6% hingga 7%. Lebih dari itu, IHT ini bakal hancur,” pungkasnya.

 

Beban IHT juga makin berat karena adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/2015. Di beleid ini, pesanan cukai harus dibayar di muka. Kewajiban ini jelas akan memperparah beban keuangan perusahaan.  

 

Fakta menunjukkan, kenaikkan cukai merupakan isu sensitif bagi IHT. Catatan Kementerian Perindustrian menunjukkan,akibat kenaikan cukai yang signifikan sejak 2008, dari total 4.900 pabrik pada 2004, kini hanya terisa 700.

 

Menteri Perindustrian Saleh Husen sendiri sudah menyampaikan surat ke Kementerian Keuangan bahwa, pengenaan cukai tinggi akan memberatkan industri rokok karena terjadinya penurunan penjualan. Akibatnya, penerimaan negara dari cukai tidak akan tercapai. Menperin juga menunjukkan peningkatan rokok illegal dan PHK bahkan gulung tikarnya pabrik.

 

"Memperhatikan hal tersebut, dan mengingat kondisi perekonomian saat ini, kami mengusulkan rencana kenaikan cukai dari hasil tembakau dapat ditinjau kembali," kata Saleh Husein. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement