REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini sudah mulai membiasakan bekerja sesuai dengan kaidah demokrasi. Namun, tidak bisa dipungkiri masih ada yang berupaya menarik tentara masuk dalam politik praktis yang menjadi salah satu gangguan reformasi TNI.
"Upaya menarik kembali tentara dalam politik oleh para politisi sipil terlihat dari praktek pemilihan kepala daerah selama ini," kata Ikrar, Senin (5/10).
Saat ini, kata Ikrar, masih banyak politisi sipil yang tidak percaya diri bila harus maju saat pencalonan, baik sebagai anggota dewan, kepala daerah, ataupun kepala pemerintahan. Para politisi tersebut, biasanya menggunakan tentara sebagai salah satu alat mereka meningkatkan kepercayaan diri dan maju dalam percaturan politik.
Bahkan, lanjut Ikrar, banyak pula para Kepala Daerah yang memanfaatkan kedekatan mereka dengan TNI lantaran anggaran keamanan yang diatur oleh pemerintah daerah. "Hubungan pertemanan ini dikhawatirkan TNI ditarik dalam politik praktis," ujarnya.
Padahal, sambung dia, TNI juga tidak mau bila anggotanya digunakan politisi sipil sebagai senjata untuk menaikkan pamor. Sehingga, politik praktis tersebut, menjadi salah satu gangguan reformasi TNI menjadi tentara profesional.
Sebelumnya, pada Ahad (4/10), Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengatakan, pihaknya menyerukan agar anggota TNI tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.
Gatot berharap agar prajurit TNI memiliki kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, informasi sipil, dan hak asasi manusia.
Ia menegaskan, walaupun terdapat kekurangan, TNI saat ini berada dalam periodesasi kekuatan yang membanggakan. Karena reformasi internal, baik secara ritual maupun kultural yang telah sepenuhnya tuntas dilakukan oleh TNI.