REPUBLIKA.CO.ID, Persaingan antara layanan jasa trasportasi sepeda motor berbasis aplikasi Gojek dan ojek reguler yang cenderung mengarah kepada tindak kekerasan. Hal itu menarik perhatian tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga Wakil Gubernur DKI Jakarta, bahkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Perseteruan kedua kubu tersebut dibahas khusus di Istana Negara pada awal September lalu, saat Presiden Jokowi mengajak makan siang sejumlah pengemudi, termasuk tukang ojek regular dan pengendara Gojek.
Pada acara tersebut para pengojek di pangkalan dan Gojek curhat kepada Presiden Jokowi mengenai persaingan yang mereka hadapi. Sanuri, tukang ojek reguler yang biasa mangkal di Cempaka Putih, misalnya, mengeluh karena pendapatannya turun sejak ada Gojek.
"Tadinya dapat Rp 100 ribu, sekarang cuma dapat Rp 30 ribu, kan kami jadi susah," ucapnya.
Saat mendapat giliran, Suryadi, pengemudi Gojek, mengaku justru mengajak para tukang ojek reguler untuk bergabung dengan Gojek karena menurut dia ikut masuk dalam armada tersebut dapat memperluas jaringan dan wawasan.
Sebagai penengah antara kedua kelompok tersebut, Prersiden Jokowi meminta mereka tidak berseteru. "Jangan berantem. Namanya hidup, ya, bersaing. Mosok yang Gojek nggak boleh jalan, anak-istrinya gimana? Namanya hidup, ya, ada persaingan," katanya.
Senada dengan ajakan kepala Negara, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengimbau para pengojek konvensional dan pengendara Gojek agar dapat bersaing secara sehat untuk mendapatkan penumpang di Ibu Kota.
Imbauan itu disampaikan wagub setelah terjadi pemukulan terhadap pengendara Gojek oleh pengojek konvensional. "Kalau bersaing itu secara kompetitif dan fair serta tidak bisa menggunakan cara-cara kekerasan," katanya.