Rabu 23 Sep 2015 16:15 WIB

Klaim Masyarakat Adat Jadi Modus Perambahan Hutan

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Ilham
Gunung Rinjani di Pulau Lombok, NTB
Foto: wordpress
Gunung Rinjani di Pulau Lombok, NTB

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Agus Budiono mengungkapkan, modus perambahan hutan seluas 50 hektar yang terjadi di Desa Bebidas, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur. Perambah hutan selalu mengatasnamakan masyarakat adat dan lahan leluhur adat.

"Modusnya, mereka membentuk kepengurusan masyarakat adat baru dan isinya keluarga semua," ujarnya kepada wartawan di Kota Mataram, Rabu (23/9).

Ia mempertanyakan keberadaan masyarakat adat di sana. Sebab, mereka tiba-tiba muncul tanpa ada kaitannya dengan sejarah. Lebih dari itu, sikap yang ditunjukan tidak memperlihatkan karakter masyarakat adat.

"Masa masyarakat adat melakukan perambahan hutan, ada alat berat di wilayah itu," ungkapnya.

Menurutnya, gerakan perambahan hutan di Desa Bebidas terjadi secara masif diduga adanya keterlibatan dari enam orang kepala desa di wilayah tersebut. "Diduga aktor utamanya itu enam orang yang merupakan kepala desa," katanya.

Agus mengatakan, awalnya masyarakat yang berjumlah sekitar 100 Kepala Keluarga merambah hutan karena mendapat informasi salah. Informasi itu mengatakan presiden sudah memberikan izin kepada masyarakat adat untuk merambah hutan di desa Bebidas. "Masyarakat dikasih info yang salah terus akhirnya merambah hutan," katanya.

Menurutnya, masyarakat mengklaim tanah yang ditempatinya merupakan tanah leluhur. Namun, hingga saat ini belum bisa membuktikan secara resmi. Dengan itu, maka masyarakat yang mengklaim dan merambah hutan telah melanggar hukum.

Ia menuturkan, lahan hutan yang sudah dirambah digunakan untuk menanam durian. Padahal, aktivitas mereka tidak memiliki dasar hukum. Bahkan, pal-pal pembatas Taman Nasional dengan hutan lindung di Gunung Rinjani banyak dihancurkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement