Sabtu 29 Aug 2015 02:36 WIB

Hindari PHK Karyawan, Serikat Pekerja Bogor Lakukan Bipartit

Rep: C34/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Demo buruh  (ilusrasi)
Foto: Republika/WIhdan Hidayat
Demo buruh (ilusrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kian lemahnya nilai tukar rupiah memberikan sejumlah imbas untuk dunia usaha, terutama potensi pemutusan hubungan kerja (PHK). Menghindari hal tersebut, sejumlah buruh dan pengusaha di Kota dan Kabupaten Bogor akan melakukan perundingan bipartit.

"Sampai hari ini, kami baru menerima informasi akan dilakukan bipartit antara pengusaha dengan serikat pekerja," ungkap Iwan Kusmawan, Ketua DPP Serikat Pekerja Nasional (SPN), kepada ROL, Jumat (28/8).

Perundingan bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja. Dalam hal ini, kedua belah pihak berunding mengenai solusi terkait bergejolaknya ekonomi agar tidak sampai terjadi PHK.

Iwan menginformasikan, jumlah buruh di Kota dan Kabupaten Bogor yang tergabung dalam SPN mencapai 25.000 orang, sebanyak 20.000 orang berada di kabupaten dan 5.000 lainnya berada di wilayah kota. Di seluruh Indonesia, terdapat 389.000 buruh anggota SPN yang tersebar di 11 provinsi.

Ia memastikan, belum ada informasi adanya PHK massal di Kota dan Kabupaten Bogor yang terjadi akibat pelemahan rupiah. Kalaupun ada, PHK yang telah terjadi bukan karena imbas perekonomian yang tengah bergejolak.

"Kami mendorong bipartit sebelum itu terjadi, harus dilakukan sehingga masing-masing pihak bisa menyampaikan saran dan pendapatnya," kata Iwan.

Melalui forum bipartit itu, diharapkan akan ada dinamika pendapat dari kedua belah pihak. Dari sisi buruh, Iwan melanjutkan, PHK menjadi hal terakhir yang diharapkan terjadi.

Kalaupun PHK terpaksa dilakukan sejumlah perusahaan, Iwan dan SPN berharap hak-hak pekerja dipenuhi normatif sebagaimana mestinya sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Jangan sampai, katanya, pembayaran pesangon di bawah jumlah yang seharusnya atau dicicil sampai dua tahun.

Jika ada PHK, menurutnya keputusan perusahaan itu bukan termasuk keadaan mendesak atau force majeure. Iwan berharap pemerintah pusat, provinsi, dan daerah memiliki komitmen sama untuk mengantisipasi hal yang terjadi.

"Harus betul-betul jadi perhatian," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement