REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Paninita Seleksi Calon Pimpinan (Pansel) KPK menanyakan pentingnya putusan hukuman mati terhadap koruptor kepada Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie. Pertanyaan itu masuk dalam rangkaian seleksi terakhir bagi para calon Capim KPK.
"Melihat keputusan anda di MK soal hukuman mati, apakah layak hukuman itu untuk koruptor?" tanya anggota Pansel, Harkristuti Haskrisnowo dalam wawancara terbuka Capim KPK di Sekertariat Negara, Selasa (25/8).
Untuk diketahui, putusan terkait hukuman mati koruptor dikeluarkan saat Jimly menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Jimly menjawab, baginya bila melihat secara emosi, maka ia akan membiarkan dan setuju bila Akil Muchtar diberi hukuman mati. Namun, sambung dia, hal tersebut hanya emosi sesaat tanpa melihat akibat hukuman tersebut pada publik dalam jangka panjang.
Hukuman mati, kata Jimly, tidak sesuai dengan isi dari Pancasila tentang kemanusiaan yang adil dan beradab. Selayaknya Indonesia mengurangi hukuman mati, bukan justru terus menambah terpidana mati.
"Kalau koruptor saya rasa tidak perlu, malah saat ini korupsi kan sudah ada korupsi TPPU, rampas harta," ucap Jimly. Saat ini, perspektif korupsi bergeser dari individu ke harta. "Maka perspeketif uang kekayaan negara harus lebih ditonjolkan, sanksi juga harus lebih diarahkan ke sana," tuturnya.
Meskipun demikian, putusan MK tetap harus dihormati dan diikuti sesuai dengan perkembangan jaman.
Hari ini, Capim yang lolos seleksi mengikuti wawancara terbuka. Mereka adalah Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono; Mayor Jenderal (Purn) Hendardi Soepandji; Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie; Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo.
Selain itu, ada Dosen Hukum Universitas Hasanuddin La Ode Muhammad Syarif; Dosen Akuntansi Universitas Gadjah Mada Mohammad Gudono; dan Direktur Eksekutif Pertamina Foundation Nina Nurlina Pramono.
Anggota tim Pansel Capim KPK melakukan wawancara terbuka kepada 19 Capim KPK selama tiga hari dari (24/8) sampai (26/8). Dari 19 nama itu akan dikerucutkan menjadi delapan nama. Nama-nama tersebut akan dikirimkan ke Presiden Jokowi ke DPR.