REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mendaftarkan gugatan informasi melawan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam perkara alih fungsi Waduk Sepat di Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya. Gugatan didaftarkan ke Komisi Informasi Jawa Timur pada Selasa (18/8).
Melalui siaran pers yang diterima Republika di Surabaya, Direktur Walhi Jawa Timur Ony Mahardika menyampaikan, gugatan sengketa informasi diajukan setelah permohonan informasi yang diajukan Walhi Jawa Timur pada 2 Mei 2015 kepada Wali Kota Surabaya tidak mendapatkan tanggapan.
Setelah permohonan informasi tidak ditanggapi, Ony menyampaikan, Walhi pun mepun surat keberatan yang dikirimkan pada 3 Juni 2015. Namun, surat keberatan tersebut pun tidak digubris.
Walhi menilai, Wali Kota Surabaya tidak memiliki itikad baik untuk membuka informasi publik terkait keabsahan alih fungsi Waduk Sepat serta aktifitas pembangunan di kawasan tersebut.
Ony menjelaskan, kasus Waduk Sakti Sepat berawal dari Surat Keputusan Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/366/436.1.2/2008 yang melepaskan tanah di area Waduk Sakti Sepat kepada PT Ciputra Surya, Tbk.
Tanah Waduk Sepat menjadi bagian dari obyek tukar guling antara Pemerintah Kota Surabaya dan PT Ciputra Surya berdasarkan Perjanjian Bersama Nomor 593/2423/436.3.2/2009 dan Nomor 031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, tertanggal 4 Juni 2009.
Tukar guling Waduk Sakti Sepat dilakukan dalam rangka pembangunan fasilitas Surabaya Sport Centre (SSC). Sewaktu Pemkot Surabaya merencanakan pembangunan SSC, luas tanah yang dibutuhkan area di Kecamtan Pakal, tempat fasilitas tersebut dibangun kurang sekitar 20 hekatare.
Untuk mencukupi kekurangan tersebut, Pemkot Surabaya melakukan tukar guling dengan PT Ciputra Surya sebagai pemilik sejumlah lahan di sekitar proyek SSC di Pakal.
Dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikeluarkan pasca tukar guling tersebut, wilayah Waduk Sepat dinyatakan sebagai “tanah pekarangan”, padahal hingga kini, kawasan tersebut masih berfungsi sebagai waduk.
"Protes warga terhadap alih fungsi Waduk Sepat, beberapa kali harus berakhir dengan bentrokan yang mengakibatkan korban luka pada pihak warga," ujarnya.
Pada 4 Juli 2011, warga yang melakukan penolakan terhadap pemagaran wilayah Waduk Sepat harus menghadapi ancaman kriminalisasi, meskipun kemudian dihentikan setelah ada mediasi dari Komnas HAM.
Menurutnya, wilayah Waduk Sepat pada mulanya adalah Tanah Kas Desa (TKD) atau bondho deso yang merupakan hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat. Wilayah tersebut berupa Waduk seluas sekitar 66.750 meter persegi terletak di wilayah RW 03 dan RW 05 Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya.
Ony menceritakan, secara turun temurun masyarakat di Dukuh Sepat telah membentuk ikatan tradisi dengan wilayah tersebut, hal ini nampak misalnya pada ritual bersih desa di tempat tersebut yang dilakukan di wilayah Waduk Sepat.
"Pengambilalihan Waduk Sepat karenanya telah melanggar hak tradisional masyarakat, karena wilayah tersebut telah menjadi pengikat solidaritas kehidupan kolektif mereka," jelasnya.
Ia menjelaskan, waduk Sepat bukan satu-satunya waduk atau embung yang hilang di kawasan Kecamatan Lakarsantri dan sekitarnya. Sebelumnya, sebuah waduk yang dikenal masyarakat sebagai Waduk Jeruk juga sudah menghilang berubah menjadi kawasan pemukiman elit. Padahal, waduk-waduk tersebut mempunyai beragam fungsi dalam mayarakat.
Menimbang kenyataan bahwa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini selalu mengusung pendekatan yang “berwawasan lingkungan” dalam visi pembangunan kota, menurut Ony, berlarut-larutnya kasus Waduk Sepat menjadi pertanyaan besar terhadap citra tersebut. Meskipun tukar-guling lahan terjadi di era sebelum Risma menjadi walikota, Ony berpendapat, Risma tidak boleh diam dalam kasus tersebut.