Senin 17 Aug 2015 09:58 WIB
Perayaan Kemerdekaan 17 Agustus

Belanda Belum Akui Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Didi Purwadi
Peserta melintas diantara makam para pahlawan usai mengikuti apel kehormatan dan renungan suci di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Senin (17/8) dini hari.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Peserta melintas diantara makam para pahlawan usai mengikuti apel kehormatan dan renungan suci di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Senin (17/8) dini hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah harus bersikap tegas terhadap keenganan pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Apalagi selama ini sudah ada tuntutan yang keras dari sejumlah pihak bahwa bila pemerintah Belanda terus saja bersikap bahwa kemerdekaan Indonesia itu terjadi pada 27 Desember 1949, maka hubungan diplomatik antara Indonesia-Belanda harus diputuskan.

''Kini sejumlah masyarakat yang diwakili Komite Utang Kehormatan Belanda (KIB) menuntut agar pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda karena tak mau mengakui hari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,'' kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, di Jakarta, Ahad malam (16/8).

''Nah, saya memandang tuntutan ini sangat substansial. Dan ini  penting artinya terutama untuk meluruskan sejarah,'' katanya. ''Saya tahu tuntutan ini  juga pernah menjadi salah satu pembahasan di parlemen Belanda. Tapi, hasilnya belum jelas sampai kini.''

Menurut Fadli, adanya tuntutan itu maka DPR akan mendorong pemerintah untuk segera membuat kajian sekaligus penyikapan mengenai soal ini. Ia pun percaya karena selama ini terkesan berdiam diri atas derasnya tuntutan masyarakat tersebut, maka memang pemerintah Belanda perlu di desak untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bukan pada 27 Desember 1949.

Ditegaskan Fadli, sikap tegas pemerintah Indonesia memang bernilai sangat penting, yakni untuk menyudahi adanya multi tafsir dalam sejarah. Apalagi pihak Belanda terus saja mengatakan apa yang mereka lakukan pada periode 1945-1949 itu merupakan aksi ‘polisionil’ untuk penertiban, sementara pihak Indonesia melihatnya sebagai agresi militer Belanda.

‘’Kita ini mempunyai utang kepada pejuang dan pendiri negara ini, terutama mereka yang berjuang pada perjuangan mempertahakan kemerdekan agar menuntut apa yang pihak Belanda lakukan pada periode 1945-1949 itu. Karena Belanda jelas melakukan aksi-aksi sepihak dan melakukan agresi milter yang menimbulkan banyak korban jiwa. Bukan hanya itu, malah boleh dikatakan di sejumlah daerah apa yang dahulu Belanda lakukan berpotensi menjadi tindakan pelanggaran HAM yang serius,’’ Katanya.

Diakui Fadli, derasnya tuntutan penghapusan hubungan diplomatik dengan Belanda itu memang bisa dipahami. Namun, pada sisi lain ada pula kenyataan bahwa setelah kemerdekaan kemudian hubungan Indonesia-Belanda sudah berlangsung normal kembali dan sudah berada dalam situasi yang baru.

‘’Maka dalam hal ini maka situasi konflik baru, dendam yang tak berkesudahan juga tak diperlukan. Jadi yang kami inginkan saat ini dari pemerintah Belanda adalah adanya pengakuan dan kesetaraan,’’ ujarnya.

Menjawab pertanyaan bila dalam beberapa tahun terakhir Duta Besar Belanda di Indonesia sudah menghadiri upacara hari kemerdekaan di Istana Negara, Fadli menyatakan sikap itu jelas tak cukup dan tidak bisa dikatakan bahwa pemerintah Belanda sudah mengakui kemerdekaan Indonesia secara penuh.

‘’Harus ada pengakuan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 yang menjadi sikap resmi pemerintah Belanda. Jadi tak cukup hanya menyuruh duta besarnya di Jakarta menghadiri upacara hari kemerdekaan di Istana Negara,’’ tegas Fadli Zon.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement