Selasa 11 Aug 2015 19:00 WIB

Pengamat: Penghapusan Keppres Remisi Perlu Ditinjau Ulang

Rep: C07/ Red: Bayu Hermawan
Penjara
Penjara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat Hukum Bambang Widodo Umar mengatakan Keppres no.120 tahun 1955 tentang Pengurangan Pidana Istimewa pada Hari Dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan perlu ditinjau ulang.

Karena, dengan adanya Keppres tersebut terpidana kasus korupsi dan teroris bisa mendapatkan remisi tersebut. "Keppres tersebut perlu ditinjau ulang setelah ditemukan standar atau alat ukur pembinaan terhadap koruptor dan teroris," ujar Bambang kepada Republika Online, Selasa (11/8).

Menurutnya, koruptor dan teroris adalah pelaku extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sehingga pembinaannya membutuhkan waktu yang lama dan terukur.

"Jika standar ini belum ada untuk kriteria para koruptor dan teoris, sebaiknya jangan memberikan remisi dengan penilaian subyektif," katanya.

Karena, sambung dia, tujuan pemberian remisi jangan sampai  dicemari oleh tujuan politis. "Tujuan pemberian remisi dalam bidang hukum tidak bisa dicampuradukan dengan tujuan atau kebijakan di bidang politis," ucapnya.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dari Kementerian Hukum dan HAM memberikan pengurangan masa hukuman atau remisi istimewa kepada 118 ribu narapidana pada hari Dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan.  Termasuk diantaranya napi teroris dan koruptor, kecuali yang mendapat hukuman mati, hukuman seumur hidup dan yang melarikan diri.

Hal tersebut berdasarkan Keppres no.120 tahun 1955 tentang Pengurangan Pidana Istimewa pada Hari Dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan. 

Dalam Keppres tersebut, remisi istimewa sudah diberikan sejak tahun 1955 dan dilanjutkan pada tahun 1965, 1975 dan seterusnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement