REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menyarankan Presiden Jokowi untuk mengurungkan niatnya mengajukan draft pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP ke DPR. Pasalnya, langkah tersebut bisa dinilai masyarakat bahwa presiden menunjukkan sikap antikritik.
"Menjadi seorang pemimpin seperti presiden harus siap dikritik dan dicaci," ujarnya saat audiensi dengan penggiat media di Banda Aceh, Senin (10/8).
Jika presiden tetap ngotot memasukan pasal penghianaan ke dalam KUHP, ia menekankan, penghinaan tersebut masuk kedalam delik aduan. “Jika ini tidak masuk dalam delik aduan maka berpotensi pasal tersebut disalahgunakan oleh penyidik untuk semena-mena dan mencari muka dihadapan presiden, biarkan masyarakat menilai apakah presiden ini tipis kupingnya ketika dikritik,” kata politikus PKS tersebut.
Nasir mengingatkan, pasal penghinaan presiden tersebut pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Menurut UUD 1945, keputusan MK bersifat final dan mengikat. Pertimbangan MK membatalkan pasal tersebut, disebabkan mengandung pasal karet. Pasalnya, kalau aturan itu diterapkan dan di kemudian hari ada seseorang menghina presiden lewat media, polisi dapat saja langsung menangkapnya.
"Ini kan sudah dibatalkan oleh MK, jika tetap maka presiden melawan hukum. Makanya sekali lagi kami meminta presiden mengurungkan niatnya apalagi ia bukan simbol negara seperti berdasarkan pasal-pasal yang dianut oleh Undang Undang Dasar 1945 bahwa tugas seorang Presiden sebagai kepala negara serta kepala pemerintahan dan bukan merupakan simbol negara."tandasnya.
Sementara itu terkait keinginan beberapa pihak agar presiden mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang (perppu) terkait calon tunggal pilkada serentak, Nasir mengingatkan agar hal itu dilakukan ketika sudah dalam keadaan genting. "Perppu itu keramat, dikeluarkan hanya dalam kondisi yang terjepit dan mendesak," katanya.
Menurut dia, masih ada jalan lain yang bisa ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa harus mengeluarkan perppu. “Pemerintah harus cerdas mencari jalan agar persoalan ini selesai, jika memaksakan dengan perppu, ini ibarat menembak nyamuk dengan meriam,” katanya.