REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari LIPI, Mochtar Pabottingi mengatakan langkah pemerintahan Jokowi memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dalam revisi KUHP tak hanya keliru, melainkan juga berbau Orde Baru.
"Selain fitnah dan ancaman, suatu pertanda jiwa besar Presiden dalam demokrasi ialah melapang-dadai setiap kritik atau olokan sehat rakyat," kata Mochtar, Senin (10/8).
Karena, sambung dia, setiap penguasa tertinggi terletak potensi laku tak adil terbesar. Sehingga kritik dan olokan rakyat kepadanya adalah sumber introspeksi gratis.
Sebelumnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menyebut pasal yang pernah dibatalkan MK boleh diusulkan kembali. Namun, dengan syarat landasan yuridis yang digunakan sebagai dasar pengajuan berbeda dari yang pernah dibatalkan sebelumnya.
Dengan demikian, pasal penghinaan presiden yang pernah dicabut MK boleh diusulkan atau dihidupkan kembali jika pemerintah memiliki argumen yang berbeda. "Ada beberapa memang terjadi, kemudian dibuatkan lagi dengan landasan filosofi yang lain, landasan yuridis yang lain," ujar Arief.
Pasal penghinaan presiden masuk dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) setelah sebelumnya pasal penghinaan terhadap presiden telah dicabut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam.
Presiden Joko Widodo mengaku pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali semata untuk melindungi para pengkritiknya dari pasal pasal karet. Bukan sebagai bentuk antikritik.
Jokowi, secara pribadi, mengaku tak memerlukan pasal yang sudah digugurkan MK itu. Lagi pula ia mengaku terbiasa dihina sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjabat kepala negara.