REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo mengajukan pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden untuk dihidupkan kembali. Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, jika pasal penghinaan terhadap presiden dihidupkan kembali di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka Polri yang akan mengalami kesulitan.
Alasannya, Neta melihat, saat memproses pengaduan menyangkut pasal tersebut, Polri bisa saja dituding sebagai alat presiden untuk mengkriminalisasi para pengeritik atau lawan-lawan politiknya. “Itu hanya akan merepotkan Polri,” ujar Neta kepada ROL, Ahad (9/8).
Neta menilai, dua alasan pasal penghinaan presiden tidak perlu dimasukkan dalam KUHP. Pertama, pasal itu sudah dicabut Mahkamah Konstitusi. Kedua, posisi warga negara sama di depan hukum, sehingga presiden sangat tidak pantas diistimewakan secara hukum. Memberi keistimewaan hukum pada presiden sama artinya melakukan diskriminasi terhadap rakyat dan hukum itu sendiri.
Untuk itu, menurut Neta, pasal penghinaan presiden tidak perlu ada. Sebab di dalam KUHP sudah ada pasal yang mengatur soal penghinaan dan pencemaran nama baik. Jika merasa dihina, kata Neta, presiden bisa melapor ke polisi dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik di KUHP.