Ahad 09 Aug 2015 05:20 WIB

Indonesia Punya Sejarah Kelam dengan Pasal Penghinaan Presiden

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Karta Raharja Ucu
 Presiden Joko Widodo memberi hormat ketika lagu Indonesia Raya berkumandang saat Pelantikan Komisi Kejaksaan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/8).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo memberi hormat ketika lagu Indonesia Raya berkumandang saat Pelantikan Komisi Kejaksaan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski pasal penghinaan presiden di beberapa negara diterapkan, tetapi, pasal itu mendapatkan tanggapan miring sejak muncul wacana akan digunakan kembali di Indonesia.

Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak merupakan salah satu yang keberatan dengan wacana akan diberlakukannya pasal tersebut. Dahnil pun menegaskan tidak sepakat dengan pasal tersebut.

"Kita punya sejarah kelam dengan pola-pola yang cenderung berpotensi represif seperti itu," ujar Dahnil saat dihubungi Republika, Sabtu (8/8).

Pasal tersebut, Dahnil menilai, berpotensi disalahgunakan. Dahnil lebih sepakat pelaku penghinaan terhadap presiden dijerat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sebelumnya, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Abdullah Machmud Hendropriyono di Mabes Polri, Jumat (7/8) mengatakan, di seluruh dunia terdapat pasal terkait penghinaan presiden. Hendropriyono menilai menghina presiden merupakan tindakan yang salah. Hendropriyono mengatakan, menghina dengan mengkritik sangat beda.

"Mengkritik itu misal bilang sodara salah, itu kritik. Itu boleh. Tapi kalau kamu bilang bangsat, itu menghina," tegas Hendropriyono, di Mabes Polri, Jumat (7/8).

Hendropriyono juga menampik jika pasal tersebut dihidupkan kembali maka, akan mengembalikan ke zaman Orde Baru. Karena itu, Hendropriyono menegaskan, harus diperjelas dalam pasal tersebut antara menghina dan mengkritik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement