REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinas Perhubungan dan Transportasi Jakarta (DKTJ) mengatakan Go-Jek tidak dibenarkan dalam undang-undang. Hal itu disampaikan menjawab permasalahan terkait keberadaan moda transportasi berbasis aplikasi di telepon pintar, seperti Go-Jek, Grab, dan Uber Taxi.
"Namun untuk Go-Jek dalam UU sampai saat ini belum dibenarkan," Kepala Dinas DKTJ, Andri Yansyah, Jumat (7/8).
Menurut Andri, yang menjadi acuan pertama masih UU No 22 Tahun 2009. Walaupun pihak Go-Jek menginginkan adanya legalisasi formal. Andri menerangkan dari berbagai macam alasan bahwa memang keberadaan Go-Jek tidak dibenarkan, tapi masih dibutuhkan oleh masyarakat.
DKTJ masih membuka ruang untuk revisi agar bisa merekomendasikan Go-Jek sebagai angkutan umum resmi. "Kira-kita UU tersebut dapat kita ubah atau tidaknya, melalui persetujuan DPR," katanya.
Kemudian untuk Uber dan Grab Taxi, jika tidak memenuhi persyaratan akan ditindak. Jika mereka ingin menjadi salah satu angkutan umum resmi ada beberapa persyaratan.
Persyaratan itu, antara lain, berbadan hukum, keterangan domilisi usaha, undang-undang gangguan, izin penyelenggaraan, minimal mempunyai lima unit kendaraan, harus mempunyai pull dan kesiapan administrasi operasional.
"Bahwa mobil-mobil perizinannya harus jelas dan berizin dengan kir," katanya menegaskan.
Sekarang dengan dilakukan pembicaraan itu, DKTJ akan membantu memenuhi ketentuan itu semua. Andri menambahkan supaya ada penentuan tarif dan argonya.
"Supaya tidak ada perang tarif kedepannya. Namun, untuk Go-Jek tidak," ucapnya.