REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menyebut seorang pemimpin yang amanah tidaklah sibuk dan peduli soal bagaimana menjaga wibawa wajah kekuasaan dengan beragam piranti hukum dan ancaman terhadap rakyatnya.
"Sebab esensi kekuasaan adalah amanah, maka pemimpin akan lebih sibuk bagaimana mewujudkan keadilan, kesejahteraan, rasa aman, dan terpenuhinya semua kebutuhan asasi rakyatnya secara proporsional," katanya melalui pesan WhatsApp yang diterima ROL, Kamis (6/8).
Menurut dia, jika seorang penguasa amanah dalam memipin, maka rakyat akan mencintainya. "Dengan begitu rakyat akan mencintainya, ia amanah dengan kekuasaan di pundaknya. Meski akan selalu ada sebagian rakyat yang membencinya bahkan menghinakannya."
Pemimpin yang memperhatikan rakyatnya, bersikap amanah dan menegakan keadilan akan menjadi dalil dan obat atas setiap kebencian pada dirinya. Bahkan, kata Abu, rakyat akan berbondong-bondong menjadi perisainya hingga tidak ada tempat dan kawan bagi para pendengkinya.
Abu menjelaskan, jika tidak ingin dibenci, dicaci, bahkan dihina maka jadilah pemimpin yang adil. "Dan jangan khianat, menipu, bahkan mendzalimi rakyat," katanya. Sebab, menurutnya, sehebat dan seadil apapun seorang pemimpin, dia masih butuh orang lain untuk melihat kekurangan dan kelemahan dirinya.
Abu menuturkan, seharusnnya pemimpin lebih mengedepankan rasa mengayomi dan mendidik dibanding hukuman dan ancaman kepada rakyatnya. Maka dengan masuknya pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP yang di usung pemerintah sangat berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.