REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasal penghinaan terhadap kepala negara telah diberlakukan di beberapa negara. Namun, pemimpin di negara-negara tersebut hanya bertindak sebagai kepala negara saja dan tidak mengemban amanat sebagai kepala pemerintahan.
Biasanya hanya di negara-negara berbentuk kerajaan terdapat pasal penghinaan jenis itu. Sementara, Indonesia sebagai negara republik dengan sistem presidensial dimana Presiden menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Untuk itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar meminta Presiden Joko Widodo jangan berlindung di balik statusnya sebagai kepala negara. “Indonesia bukan negara kerajaan, terlebih lagi sistem kita presidensial, jadi pasal penghinaan terhadap presiden tidak semestinya ada,” kata dia, Kamis (6/8). Ditambah lagi, batas yang dimaksud sebagai penghinaan tidaklah jelas.
Pasal penghinaan, kata Haris, memang harus tetap ada. Namun pemberlakuannya ditujukan untuk semua orang. "Jangan hanya presiden yang berlindung di balik jabatan," pintanya.
Presiden sebagai kepala pemerintahan telah melewati proses politik, mulai dari masa pencalonan, kampanye, hingga akhirnya terpilih dalam pemilihan umum. Sudah semestinya kebijakan yang dibuat presiden harus dikawal dengan cermat. “Masa kalau bikin kebijakan yang merugikan tidak boleh dikritik, kecuali kalau sifatnya personal,” kata dia.
Langkah Jokowi menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dianggap sebagai suatu kecerobohan. Apalagi ketika ada argumentasi bahwa langkah ini hanya meneruskan draft yang sudah ada dari pemerintahan sebelumnya. Dugaan Haris, pemerintah ingin menunjukkan gerak cepat. “Tapi harusnya diimbangi dengan upaya menjaga konten,” ucapnya.
Presiden mempunyai kedudukan yang sama dengan warga Indonesia yang lain. Hanya situasi dan posisinya saja yang berbeda pada ukuran-ukuran tertentu. Sayangnya, ukuran-ukurannya saja yang tidak jelas sehingga bisa saja dipakai untuk mengkriminalkan orang sebagai alat represi.