Rabu 05 Aug 2015 19:33 WIB

'Presiden Bukan Simbol Negara, Pasal Penghinaan tak Perlu Dihidupkan Lagi'

Rep: C07/ Red: Bayu Hermawan
Presiden Jokowi beri arahan peserta rapimnas TNI-Polri
Foto: antara
Presiden Jokowi beri arahan peserta rapimnas TNI-Polri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fikar Hajar mengatakan pasal penghinaan terhadap presiden tidak perlu dihidupkan lagi dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal tersebut karena presiden bukan simbol negara.

"Ada presepsi yang salah seolah-olah Presiden adalah simbol dari satu negara," ujarnya, Rabu (5/8).

Ia melanjutkan, padahal simbol dari suatu negara itu berupa bendera dan lambang negara. Sementara presiden hanyalah seorang pemimpin yang bisa berganti-ganti orangnya sehinga penghinaan terhadap presiden tidak jelas definisinya dan bisa disalahgunakan Presiden sebagai penguasa.

"Makanya MK membatalkannya," tegasnya.

Pemerintah menginginkan pasal penghinaan terhadap presiden masuk ke dalam revisi  KUHP setelah sebelumnya pasal penghinaan terhadap presiden telah dicabut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam.

Presiden Joko Widodo mengaku pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali semata untuk melindungi para pengkritiknya dari pasal-pasal karet. Bukan sebagai bentuk antikritik.

Jokowi, secara peribadi, mengaku tak memerlukan pasal yang sudah digugurkan MK itu. Lagi pula ia sudah terbiasa dihina sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjabat  sebagai Kepala Negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement