REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pihak di balik masuknya pasal penghinaan pada Presiden dalam draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Mereka justru mengatakan pasal penghinaan Presiden sudah ada sejak era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Namun, PDIP juga tidak menampik, kebutuhan untuk melindungi harkat dan martabat seorang Presiden. Ketua bidang hukum, HAM dan Perundang-undangan DPP PDIP, Trimedya Pandjaitan mengatakan, harus ada jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan pasal penghinaan pada Presiden ini.
“Kita akan cari jalan tengahnya di DPR, supaya tidak melanggar apa yang sudah diputuskan MK,” kata Trimedya pada wartawan, Rabu (5/8).
Wakil Ketua Komisi III DPR RI ini menambahkan, PDIP tidak setuju substansi pasal 134 tentang menghina kepala negara. Tapi, bagaimana cara melindungi kehormatan seorang Presiden supaya tidak sembarang orang dapat mencaci maki.
Pasal penghinaan terhadap Presiden ini, kata dia, menjadi salah satu pasal yang paling krusial yang dimasukkan dalam draf Rancangan Undang-Undang KUHP oleh pemerintah. Trimedya menegaskan, PDIP juga tidak ingin Indonesia mengalami kemunduran demokrasi. Menurutnya, Indonesia tidak boleh kembali menjadi negara otoriter.
Persoalannya, kata dia, adalah soal bagaimana kehormatan Presiden dan Wakil Presiden dilindungi kehormatannya. Jadi, sambungnya, pasal penghinaan pada Presiden ini memang harus ada, tapi dengan substansi yang berbeda dengan pasal yang sudah dibatalkan oleh MK.
“Substansinya seperti apa nanti dipikirkan, ini kan baru ide, idenya tidak boleh menghambat kebebasan berpendapat,” imbuh Trimedya.