REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik soal dimasukkannya lagi pasal penghinaan pada Presiden masih hangat dibahas. Ketua DPP bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Trimedya Pandjaitan mengatakan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini dimasukkan saat era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
“Kelihatannya pemerintah Jokowi kemudian itu butuh dimasukkan lagi, sehingga pasal itu masih ada,” kata Trimedya pada wartawan, Rabu (5/8).
Menurut Trimedya, jangan sampai semua pihak berpikiran bahwa pemerintahan Presiden Jokowi menginginkan pasal itu dimasukkan lagi dalam RUU KUHP. Jadi, kalau pasal itu masih ada saat pemerintah era Presiden Jokowi memasukkan draf RUU KUHP, bukan berarti Jokowi ingin pasal itu kembali eksis dalam UU.
“Mereka memasukkan begitu saja, menurut saya seperti itu kejadiannya,” imbuh wakil ketua komisi III DPR RI ini.
Trimedya menambahkan, mengenai pasal penghinaan pada Presiden, memang setiap warga negara harus melindungi harkat dan martabat seorang Presiden. Di pasal lain, soal penghinaan menjadi delik aduan. Jadi presiden harus mengadu jika merasa dihina. Pasal penghinaan yang dibatalkan MK merupakan produk UU sejak zaman Belanda yang fungsinya untuk melindungi raja-raja Belanda.