REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum Jimly Asshiddiqie tak setuju dengan usulan pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden.
Jimly menilai, menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dengan dalih presiden adalah lembaga negara tak masuk akal.
"Lambang itu sudah diatur sendiri pada Pasal 36. Lambang negara kan Garuda. Jadi itu teori feodal yang menganggap presiden lambang negara," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut, Selasa (4/8).
Menurut Jimly, banyak ahli hukum yang larut dengan teori teknis hukum pidana. Dalam teori teknis yang populer di abad 17 tersebut disebutkan bahwa presiden adalah lambang negara. Namun, menurutnya, teori itu sudah tak berlaku di era saat ini.
Jimly kemudian menceritakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal penghinaan pada presiden pada 2006 lalu mendapat pujian dari Dewan HAM PBB.
Indonesia dinilai telah membuat dua langkah lebih maju dari banyak negara lain, termasuk Belanda, Belgia dan Swedia. Sebab, di negara-negara tersebut pasal penghinaan presiden masih ada sekalipun pada prakteknya tidak lagi digunakan.
Dulu, ucap Jimly, warga di Eropa yang tidak membungkuk saat melihat foto presiden atau raja bisa dikenakan pasal penghinaan. Namun, saat ini dalam hampir semua aksi unjuk rasa warga kerap membakar dan menginjak foto presiden. Kendati demikian, presiden tidak merasa terhina.
"Tingkat peradaban berdemokrasi seperti itu, sehingga pasal penghinaan kepala negara itu meski masih ada tidak pernah dipakai lagi," katanya.
Oleh karenanya, pada waktu itu MK menganggap pasal penghinaan pada presiden sudah tidak relevan lagi. Lagipula, sambung Jimly, apabila presiden merasa dihina, maka yang merasa dihina adalah presiden sebagai individu, bukan institusi presiden.
Sebab, sebagai sebuah lembaga, insitusi presiden tidak memiliki perasaan. Karenanya, lembaga presiden tidak bisa merasa dihina.
"Siapa yang merasa dihina? Itu pribadi. Sama dengan pribadi yang lain, kalau merasa dihina dia mengadu ke polisi," tegasnya.