Selasa 04 Aug 2015 21:16 WIB

Pasal Penghinaan Presiden, Demokrat: Presiden Jokowi Harus Belajar dari SBY

Presiden Joko Widodo berdiri di depan lukisan karikatur para Presiden RI karya Kartunis Yoga Adhitrisna usai berdialog dengan Komunitas Kreatif Indonesia di Gedung Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten, Selasa (4/8).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo berdiri di depan lukisan karikatur para Presiden RI karya Kartunis Yoga Adhitrisna usai berdialog dengan Komunitas Kreatif Indonesia di Gedung Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten, Selasa (4/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana untuk menghidupkan kembali Pasal Penghinaan Presiden memicu pro dan kontra. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Hinca Panjaitan menilai, pasal tersebut sebaiknya tidak perlu dihidupkan lagi.

"Pasal ini sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahin 2006, saya menilai sebaiknya kita jangan mundur lagi," ujarnya, Selasa (4/8).

Hinca melanjutkan, Presiden Joko Widodo bisa belajar dari Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadapi kritik. Menurutnya, saat SBY menjabat sebagai presiden, ia pun kerap dikritik bahkan tak jarang di caci maki dan dihina.

"Namun Pak SBY tidak pernah berpikir untuk membungkam kekebasan berpendapat, apalagi menghidupkan kembali Pasal Penghinaan Presiden. Harusnya Jokowi lihat kebelakang sedikit," katanya.

Terkait pembahasan RUU KUHP di DPR, Hinca yakin kader-kader Demokrat yang duduk di DPR sudah paham dan siap melanjutkan apa yang dilakukan oleh SBY dalam menjaga demokrasi serta kebebasan berpendapat.

Seperti diketahui, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan pemerintah ke DPR terdapat pasal yang mengatur penghinaan pada Presiden Indonesia. Pasal ini sebelumnya pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam, namun di rancangan terbaru, pasal ini kembali dimunculkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement