REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden menuai pro dan kontra.
Pakal hukum pidana Gandjar Laksana menilai, pasal penghinaan terhadap presiden bisa dikembali dengan cara mengajukan banding atas putusan MK yang mencabut pasal tersebut.
Menurutnya, tidak ada putusan yang tidak bisa dirubah, termasuk pasal penghinaan presiden. Memang betul bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat, tapi bukan berarti tidak bisa dibanding. Karena, dalam putusan MK, hanya disebutkan jika tidak ada upaya hukum yang dilakukan terhadap putusan itu.
''Boleh saja (diaktifkan), tidak ada masalah. Kalau memang ada kebutuhan, dan itu memenuhi rasa keadilan. Seperti ketetapan tuhan saja tidak bisa dirubah,'' kata Gandjar saat dihubungi Republika, Selasa (4/8).
Bahkan Gandjar menyatakan, UU 1945 saja bisa diamandamen, asal seluruh anggota DPR sepakat. Apalagi ini hanya putusan MK yang ditentukan oleh sembilan orang hakim.
"Meski, keputusan MK ini memang memiliki ketetapan hukum yang kuat, bukan berarti suasana hukum tidak berubah,'' ujar pakar hukum pidana UI tersebut.
Ia meminta, masyarakat harus bisa membedakan kapan menghina presiden, kapan menghina Jokowi. Artinya, antara pasal pencemaran nama baik dengan pasal penghinaan presiden memiliki konteks yang berbeda.
''Harus beda dong, mana perilaku Jokowi, mana presiden,'' jelasnya.
Namun, ia mengingatkan, pihak -pihak yang mengkritik pemerintah, oleh penegak hukum jangan mudah dianggap sebagai pencemaran nama baik. ''Penegak hukum jangan sensitiflah,'' tambahnya.