Senin 03 Aug 2015 21:52 WIB

JK: Wajar Pasal Penghinaan Presiden Diberlakukan Kembali

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bayu Hermawan
Jusuf Kalla
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Jusuf Kalla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menanggapi keinginan Presiden Joko Widodo untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai hal tersebut wajar.

Menurut JK, presiden yang merupakan kepala negara adalah tokoh yang harus dihormati. Sehingga, ia menilai penghinaan terhadap presiden juga dapat mengganggu jalannya pemerintahan.

"Jadi kalau memaki-maki atau menghina presiden juga tentu fungsi pemerintahan juga tentu terkena, jadi wajar saja. Itukan cuma bedanya sedikit, satu. Kalau tidak salah bedanya pasal dulu itu dicabut karena Eggy Sujana yang judicial review. Sekarang ya sudah," jelas JK di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (3/8).

JK pun menilai penolakan pasal penghinaan presiden oleh DPR tentu memiliki alasan sendiri. "Kan ini tentu punya alasan, inikan masuk KUHP baru kan. Nantilah kita lihat," katanya.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan pemerintah ke DPR RI terdapat pasal yang mengatur penghinaan pada Presiden RI. Pasal ini sebelumnya pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), namun di rancangan terbaru, pasal ini kembali dimunculkan.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem, Patrice Rio Capella mengatakan, komisi III akan mengkaji serius terkait penghidupan pasal ini oleh pemerintah. Menurutnya, MK pernah menghapus pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan pada Presiden.

"Apakah pasal ini masih bisa diberlakukan atau tidak, karena berkaitan dengan putusan MK," kata dia, Senin (3/8).

Dalam pandangan MK, kata dia, semua warga negara Indonesia memiliki hak yang sama di mata hukum. Tidak membedakan posisi apapun semua sama di mata hukum. Namun, bukan berarti juga Presiden boleh dihina.

"Jadi ini bukan soal pada orang, tapi soal jabatan yang Presiden yang merupakan salah satu simbol sebuah negara," tegasnya.

Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin, menilai berdasarkan azas hukum yang berlaku, sesuatu yang telah dibatalkan MK tidak bisa lagi dibahas atau dihidupkan kembali dalam RUU yang baru. Jadi, menurut dia, pasal itu tidak bisa dihidupkan kembali oleh pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement