REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) belum menentukan sikap soal wacana untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan pada presiden.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani mengatakan PPP akan mengkaji apakah pasal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi soal pembatalan pasalnya atau tidak.
PPP akan mengkaji secara cermat agar pasal penghinaan pada Presiden tidak berbahaya bagi kebebasan mengeluarkan pendapat bagi masyarakat Indonesia.
"Kami akan memastikan agar pasal itu tidak menjadi pasal 'karet' yang digunakan untuk membungkam kritik terhadap Presiden dan pemerintahannya," katanya pada Republika, Senin (3/8).
Menurutnya, kalau pasal yang diajukan dalam rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini sama dengan pasal yang pernah dibatalkan oleh MK, maka DPR tidak akan menerimanya.
Sebab, putusan MK juga mengikat bagi pembentuk Undang-Undang (pemerintah dan DPR). Jadi, harus dilihat apakah pasal itu menabrak putusan MK atau tidak. Kalau menabrak pasti akan ditolak atau dimodifikasi agar norma-norma yang ada di dalamnya tidak menabrak putusan MK.
Wakil Sekretaris Jenderal PPP hasil muktamar Surabaya ini menambahkan, adanya pasal yang sangat sensitif bagi masyarakat ini, DPR pasti akan mengkajinya dengan cermat.
DPR pasti akan mendengar seluruh masukan dari pihak ahli, maupun akademisi serta praktisi hukum dan masyarakat sipil untuk membahas pasal soal penghinaan pada Presiden ini.
Sebab itu, ibuh dia, seharusnya wacana soal pasal ini dimunculkan ke publik agar memunculkan pandangan publik pada pasal ini.
"Pasal itu sebaiknya menjadi diskursus publik sekarang, apalagi pada masa sidang Agustus ini, RUU KUHP akan mulai dibahas," tegasnya.