REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kebijakan 'lima hari sekolah' yang telah diujicoba di sejumlah institusi pendidikan, terus menuai kritikan dari wakil rakyat Provinsi Jawa Tengah.
Dari berbagai aspek, kebijakan yang digagas Gubernur Jawa Tengah tersebut dinilai terlalu 'prematur' untuk dapat diterapkan sekolah di Jawa Tengah. "Sehingga wakil rakyat pun mendesak agar kebijakan ini dievaluasi kembali," jelas Anggota Komisi B DPRD Jawa Tengah, Achsin Ma'ruf, di Semarang, Ahad (2/8).
Politisi PAN Jawa Tengah ini menilai, kebijakan lima hari sekolah masih menyisakan jamak persoalan. Setelah dicobakan di sekolah menengah atas, situasi dan kondisi di lapangan masih jauh berbeda. Ia mengaku telah banyak menerima masukan terkait persoalan ini, selama melakukan kunjungan reses ke Kabupaten Kendal, Kota Semarang dan Kabupaten Semarang.
"Rupanya, jamak masyarakat dan para pengajar di sekolah yang menyatakan tidak sepakat dengan kebijakan lima hari sekolah ini dengan beragam alasan dan argumentasi," tegasnya.
Ia mencontohkan, dari sisi akademik, sejumlah guru menyampaikan ketidakefektifan. Sebab kemampuan serta daya tangkap siswa menerima pelajaran akan menjadi berkurang.
Alasannya, para siswa terlalu lama di sekolah untuk menerima materi pembelajaran. Artinya, siswa tentu akan lelah di sekolah dan imbasnya tidak ada kesempatan belajar di rumah. Jangankan menerima materi pembelajaran selama delapan jam hingga pukul 15.30, di sekolah hingga 13.30 saja siswa sudah jenuh.
Aspek pendukung lain pun dinilai belum siap. Seperti tempat ibadah atau kantin di sekolah yang rasionya belum berimbang. Sehingga dikhawatirkan justru bakal menghambat implementasi di lapangaan.
Faktor transportasi menjadi hambatan lain. Sekolah di daerah banyak menampung siswa yang jarak rumah ke sekolahnya cukup jauh. Hingga mengandalkan transportasi umum. Seperti di SMAN 1 Ungaran ada siswa yang berasal dari Pabelan atau Getasan. Persoalannya, di daerah pinggiran angkutan umum jam operasionalnya terbatas.
Di atas pukul 16.00 sudah tidak ada angkutan umun lagi yang dapat membawa siswa. "Kondisi ini berbeda dengan siswa sekolah di perkotaan yang layanan transportasi umumnya sampai malam," tegas Achsin.
Ia mendesak agar kebijakan lima hari sekolah ini ditinjau kembali. Secara semangat dan gagasan tidak ada yang keliru dengan kebijakan ini.