REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI menemukan 10 item ketidaksiapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2015. Temuan itu disampaikan auditor negara tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam laporan Pemeriksa Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas kinerja penyelenggaraan pesta demokrasi di daerah itu mendatang.
Anggota BPK bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Agung Firman Sampurna menyampaikan, 10 item tersebut menyangkut soal, ketersediaan anggaran pilkada yang belum sesuai dengan ketentuan, sampai dengan temuan rekrutmen pejabat penyelenggara Pilkada 2015, yang tak sesuai klasifikasi."Juga menyangkut tidak adanya teknis dan pedoman pengawasan pilkada, juga pedoman teknis yang disepakati untuk penyelesaian hasil pilkada di MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Agung, usai mempresentasikan temuannya kepada pemimpin alat kelengkapan di dewan, di DPR, Jakarta, Senin (13/7).
Agung, sebagai penanggung jawab pemeriksaan terhadap penyelenggara pemilu itu menjelaskan 10 temuan tersebut. Pertama, soal anggaran pilkada di 269 wilayah provinsi, kabupaten dan kota terlaksana pilkada serentak. Kata dia, sampai hari ini masih ada 25 pemerintah daerah yang belum menyediakan anggaran pengawasan dan pengamanan Pilkada 2015.
Selain itu, 11 pemerintah daerah (pemda) pun ada yang belum punya anggaran pilkada dalam APBD 2015. Namun, BPK mencatat adanya inkonsistensi nilai anggaran antara Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dan APBD 2015 di sembilan KPUD kabupaten dan kota, serta di 12 Panwaslu kabupaten dan kota.
Masih terkait anggaran Pilkada 2015, dikatakan Agung, BPK juga menemukan delapan dari sembilan provinsi terlaksana pilkada, belum mengeluarkan SK Gubernur penganggaran pilkada. Selanjutnya, sejumlah pemda dan pemkot juga belum melakukan antisipasi anggaran untuk pelaksanaan pilkada ulang di 218 KPU provinsi, kabupaten kota, dan 239 panwaslu kabupaten dan kota.
"Ada tercatat 131 KPU provinsi, kabupaten dan kota, serta 215 Panwaslu, provinsi, kabupaten dan kota, yang memiliki anggaran belanja hibah tak sesuai dengan penjadwalan Pilkada dalam PKPU 2/2015," ujar Agung. BPK merekomendasikan, agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencarikan jalan keluar persoalan 'sengketa' anggaran tersebut.
Temuan berikutnya, diterangkan Agung ialah Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) pilkada di beberapa daerah yang belum ditetapkan dan belum sesuai ketentuan. Ketiga, rencana penggunaan anggaran hibah pilkada belum sesuai ketentuan.
Soal ini, diterangkan Agung, BPK memecah 21 kelompok anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pilkada. BPK meringkasnya menjadi 15 kelompok anggaran yang harus dianggarkan. Delapan kelompok anggaran di KPU, dan tujuh kelompok anggaran di Bawaslu.
Dikatakan Agung dari 269 KPU pelaksana Pilkada, 100 KPU telah menganggarkan seluruh kelompok aggaran tersebut. Sementara 164 KPU daerah hanya menganggarkan sebagian dari jenis anggaran. Sisanya, lima KPU lainnya menolak untuk memberikan data.
Sedangkan kelompok anggaran di pengawasan, sebanyak 146 Panwaslu sudah menganggarkan semua jenis biaya. Sisanya 92 hanya menganggarkan sebagian dari jenis biaya. Sisa lainnya, 31 Panwaslu menolak memberikan data.
"Ini yang menjadi perhatian utama kami (BPK). Karena anggaran itu menjadi satu sentral dan persoalan paling krusial dalam semua tahapan pilkada," kata Agung. BPK pun mencatat ada 164 KPU dan 92 Panwaslu yang tak cermat melakukan perencanaan anggaran yang mengakibatkan terancamnya pelaksanaan pilkada di sejumlah wilayah KPU dan Panwaslu tersebut.
Temuan lainnya, rekening hibah pilkada serentak 2015 pada KPU dan Panwaslu provinsi, kabupaten dan kota belum sesuai ketentuan. Selain itu, BPK juga menemukan, perhitungan biaya pengamanan pilkada serentak belum dapat diyakini kebenarannya.